Tag Eropa

Eropanisasi

Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

Uni Eropa sering digambarkan sebagai entitas yang sui generis. Sebagai sebuah entitas politik, Uni Eropa adalah gabungan karakter dari dua institusi yang sangat berbeda, jika bukan bertolak belakang, yakni institusi supranasional dan organisasi internasional. Label sui generis ini  muncul karena ketidakmungkinan untuk mengidentikkannya sebagai sebuah entitas supranasional ataupun sebagai sebuah organisasi internasional. Tetapi, karakter sui generis ini cenderung tidak muncul dalam diskusi tentang Uni Eropa. Politik Uni Eropa cenderung tetap dipahami melalui dua cara yang berbeda (Hix and Høyland 2011, 16-18). Mereka yang sangat optimis memahami Uni Eropa melalui kerangka supranasionalisme. Supranasionalisme menggambarkan Uni Eropa sebagai sebuah entitas yang independen yang bukan hanya memiliki kepentingan yang mungkin sangat berbeda dari kepentingan negara-negara anggotanya, tetapi juga memiliki kekuasaan atas negara-negara anggotanya. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa berlaku untuk negara-negara anggota Uni Eropa serta warga negara mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang pesimis, Uni Eropa berkembang sebagai konsekuensi dari interaksi kepentingan di antara negara-negara anggota-anggotanya. Uni Eropa tidak akan pernah menjadi entitas supranasional yang mandiri dari negara-negara pembentuknya. Dengan kata lain, Uni Eropa semata-mata merupakan arena bagi negara-negara anggotanya untuk mengejar kepentingan mereka. Kebijakan yang diambil oleh Uni Eropa adalah produk dari negosiasi kepentingan negara-negara anggotanya. Pandangan yang kedua ini dikenal sebagai intergovernmentalisme.

Berkembangnya konsep Eropanisasi (Europeanization) pada pertengahan tahun 1990-an memberikan alternatif yang lebih proporsional untuk menjelaskan bagaimana Uni Eropa sebagai entitas sui generis bekerja. Konsep ini menghubungkan dua realitas kekuasaan, yakni Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, yang saling mempengaruhi. Konsep Eropanisasi berangkat dari asumsi bahwa integrasi regional yang berkembang ke dalam bentuk Uni Eropa menjadikan proses politik di Eropa berbeda. Eropanisasi menggambarkan penetrasi kebijakan Uni Eropa ke dalam sistem politik negara-negara anggotanya. Tetapi, konsep Eropanisasi tidak mengasumsikan adanya hubungan kekuasaan yang unilinear antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar di negara-negara anggotanya, tetapi bukan yang menentukan. Negara-negara anggota Uni Eropa berperan besar dalam menentukan apakah kebijakan Uni Eropa akan diadopsi, diubah atau ditolak. Dengan kata lain, penetrasi Uni Eropa ke negara-negara anggotanya bukan sebuah keniscayaan. Pada saat yang sama, hubungan kekuasaan antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya adalah hubungan interaksi timbal balik dan saling mempengaruhi. Negara-negara anggota Uni Eropa bukan sekedar penerima kekuasaan Uni Eropa, tetapi juga memanfaatkan Uni Eropa untuk mendukung atau memperkuat kebijakan nasional mereka.

Eropanisasi dan integrasi Eropa

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang pesat pada tahun 1990-an. Tetapi, sekalipun telah menjadi sangat populer dalam kajian Eropa, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat diperdebatkan dan dipahami dengan cara yang sangat berbeda (Olsen 2002, 921; Radaelli 2000). Signifikansi Eropanisasi sebagai sebuah konsep untuk menjelaskan sebuah fenomena juga tidak jarang dipertanyakan. Keragaman pemahaman terhadap Eropanisasi menjadikannya sangat lentur sebagai sebuah konsep dan cenderung kehilangan fokus.[1]

Meskipun demikian, Eropanisasi bukan sebuah konsep yang tidak bermanfaat. Terlepas dari perbedaan pemahaman mengenai konsep ini, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat dalam konteks perubahan di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance. Dalam artian ini, Eropanisasi sebagai sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance berpengaruh terhadap politik di negara-negara anggotanya (Hix and Goetz 2000, 1). Munculnya konsep ini bukan hanya menggambarkan reorientasi kajian Eropa yang selama ini berfokus pada upaya untuk menjelaskan proses integrasi, munculnya sistem governance di tingkat regional serta kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh sistem tersebut, tetapi juga mencerminkan ‘transformasi’ Eropa yang dihasilkan oleh proses integrasi (Cowles, Caporaso and Risse 2001).

Sebagai fenomena yang menggambarkan kompleksitas dinamika interaksi antara Uni Eropa dengan negara-negara anggotanya, Eropanisasi jelas sangat terkait dengan integrasi Eropa. Minat terhadap Eropanisasi berkembang seiring dengan semakin terintegrasinya Eropa. Oleh karenanya, bagi banyak ilmuwan kajian Eropa, fenomena Eropanisasi harus dipahami dalam kerangka besar studi tentang integrasi di Eropa. Graziano dan Vink menggambarkan munculnya minat terhadap Eropanisasi sebagai ‘The Europeanization Turn’ dalam kajian Eropa. Konsep Eropanisasi membuka ruang analisis untuk melihat interaksi antara politik di level nasional dan politik di level regional yang cenderung diabaikan dalam kajian Eropa yang hingga pertengahan tahun 1990an didominasi terutama oleh upaya-upaya untuk menjelaskan proses integrasi (Graziano and Vink 2012, 33).  Tidak jauh berbeda dari Graziano dan Vink, James Caporaso juga mengkaitkan Eropanisasi dengan integrasi di Eropa. Konsep Eropanisasi berkembang dalam konteks perkembangan kajian Eropa tentang integrasi yang berlangsung dalam tiga tahap.[2] Tahap pertama adalah yang memusatkan pada penjelasan tentang munculnya dorongan untuk membangun kerjasama antar negara. Fokus kajian pada tahap ini adalah pada negara untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari kemauan negara untuk bekerjasama. Pada tahap kedua, orientasi kajian Eropa berubah secara drastis, seiring dengan semakin menguatnya institusionalisasi kerjasama di tingkat regional dan berkembangnya Uni Eropa sebagai sebuah entitas politik ataupun bahkan sebuah sistem politik yang ditandai dengan meningkatnya kompetensi Uni Eropa untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan. Kajian Eropa pada tahap ini berfokus pada upaya untuk memahami bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem bekerja. Konsep Eropanisasi berkembang sebagai bagian dari perkembangan kajian integrasi pada tahap ketiga, yakni yang memberikan perhatian pada bagaimana dampak keberadaan Uni Eropa bagi negara-negara anggotanya, yakni yang telah berkontribusi untuk membentuk Uni Eropa (Caporaso 2008).

Eropanisasi sebagai Proses Top-Down

Konsep Eropanisasi yang dipahami secara spesifik dalam kaitannya dengan integrasi Eropa pada dasarnya mencakup tiga proses, yakni yang dikenal sebagai proses top-down, proses bottom-up dan proses horizontal. Tetapi, sebagian besar pemahaman konsep Eropanisasi cenderung melihat proses top-down, yakni terkait dengan bagaimana sistem governance di Eropa berpengaruh terhadap sistem di negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan melihatnya sebagai ‘sebuah lensa teoretis tentang dampak dari integrasi terhadap struktur domestik,’ misalnya, Radaelli secara jelas menggambarkan Eropanisasi sebagai hubungan kausal yang bersifat top-down antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya (Radaelli 2006, 58).[3]

Dalam proses yang top-down ini, Eropanisasi berawal dari semakin terkonsolidasinya Uni Eropa baik dalam artian institusi, mekanisme maupun norma. Konsolidasi di tingkat regional ini menimbulkan persoalan dalam kaitannya dengan kesesuaian (fits) atau ketidaksesuaian (misfits) antara sistem governance regional dengan sistem governance nasional. Besarnya tekanan Eropanisasi sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian ataupun ketidaksesuaian kedua sistem governance: semakin besar ketidaksesuaian di antara keduanya, semakin besar tekanan terhadap sistem nasional untuk melakukan perubahan dan penyesuaian. Tekanan penyesuaian terhadap sistem governance regional ini yang kemudian mendorong perubahan dalam sistem nasional ke arah regional (Börzel and Risse 2000, 59).

Banyak contoh yang ditunjukkan terkait dengan Eropanisasi sebagai sebuah proses yang berlangsung secara top-down ini. Dalam bidang moneter, misalnya, setelah ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada tahun 1992, Uni Eropa memberikan tekanan yang kuat kepada negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan sistem moneter nasionalnya sebagai prasyarat untuk bisa diterima ke dalam Economic and Monetary Union (EMU). Prasyarat ini menempatkan negara-negara anggota Uni Eropa dalam kedua kategori di atas, yakni sesuai dan tidak sesuai. Sistem moneter Jerman, yang memiliki bank sentral yang independen (Bundesbank) adalah negara dengan sistem keuangan yang paling sesuai dengan prasyarat yang dituntut oleh Uni Eropa, sementara Perancis adalah negara yang paling tidak sesuai, karena bank sentralnya (Banque de France) yang cenderung di bawah kendali negara. Konsekuensinya, dalam artian proses, tekanan Eropanisasi terhadap Perancis jauh lebih kuat daripada tekanan terhadap Jerman.

Proses Eropanisasi yang berlangsung secara top-down seperti yang digambarkan oleh Radaelli secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan di tingkat nasional oleh negara-negara anggotanya. Konsep kesesuaian dan ketidaksesuaian antara sistem nasional dengan sistem regional menggambarkan bahwa perubahan di tingkat nasional secara jelas berasal dari eksternal, yakni Uni Eropa. Yang menarik, proses Eropanisasi ini terjadi bukan hanya di bidang-bidang yang cenderung dianggap low politics, tetapi juga di bidang-bidang dalam kategori high politics atau yang sangat menyentuh privilege negara-negara anggota Uni Eropa karena menyangkut kedaulatan (Wallace 2000, 369-82). Dalam kategori ini, menarik melihat bagaimana UnI Eropa berperan besar dalam mengubah kebijakan nasional misalnya yang terkait dengan mata uang, pertahanan dan keamanan, dan perbatasan. Berbagai contoh perubahan terhadap bidang-bidang yang tadinya menjadi privilege negara-negara berdaulat ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan neofungsionalisme yang cenderung melihat kerjasama antar negara bisa berjalan jika dimulai dengan kerjasama-kerjasama yang bersifat fungsional.

Tentu saja, Eropanisasi dalam artian proses yang top-down semakin nampak dalam kaitannya dengan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Negara-negara calon anggota Uni Eropa dari Eropa Timur harus melakukan serangkaian penyesuaian dalam kebijakan nasionalnya sesuai dengan permintaan Uni Eropa yang tercantum dalam Copenhagen Criteria. Keinginan negara-negara tersebut untuk bergabung ke dalam Uni Eropa memberikan Uni Eropa posisi yang sangat kuat untuk menuntut perubahan di negara-negara tersebut (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005). Eropanisasi benar-benar telah membentuk lembaga dan kebijakan negara-negara yang akan bergabung dengan Uni Eropa.

Eropanisasi sebagai proses yang timbal balik

Eropanisasi sebagai proses top-down secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap negara-negara anggotanya. Sekalipun terlihat sangat kuat, Eropanisasi sebenarnya bukan hanya melibatkan proses top-down atau proses downloading melainkan juga proses yang sebaliknya, yakni bottom-up ataupun uploading (Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini, opcit,  406). Eropanisasi tidak terjadi sebagai refleksi dari hubungan kekuasaan yang asimetris atau yang menggambarkan tekanan sepihak dari Uni Eropa kepada negara-negara anggotanya, melainkan sebagai produk dari hubungan timbal balik. Eropanisasi melibatkan proses internal di tingkat nasional disamping proses eksternal yang berupa tekanan dari Uni Eropa. Dengan kata lain, Eropanisasi adalah sebuah proses timbal balik.

Studi yang dilakukan oleh Schimmelfennig dan Sedelmeier terkait dengan keinginan negara-negara di Eropa Tengah dan Timur untuk menjadi anggota Uni Eropa sebenarnya secara jelas menggambarkan proses dua arah ini (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005, 1). Kemampuan Uni Eropa untuk memaksakan perubahan di negara-negara tersebut untuk memenuhi Copenhagen Criteria bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara ini. Kemampuan Uni Eropa menjadi tidak bermakna jika negara-negara tersebut tidak berkeinginan untuk menjadi anggota negara-negara Uni Eropa. Dalam artian ini, pertimbangan-petimbangan nasional di negara-negara tersebut yang berupa peluang ekonomi yang dijanjikan oleh Uni Eropa maupun meningkatnya leverage negara-negara tersebut di dunia internasional sebagai bagian dari Uni Eropa menjadi faktor penting bagi negara-negara tersebut untuk menerima tuntutan Uni Eropa akan transformasi sistemik di negara-negara tersebut (Wallace 2000, 1).

Eropanisasi sebagai sebuah proses dua arah jelas menggambarkan eksistensi kedaulatan negara-negara anggotanya. Dalam konteks ini, Eropanisasi bukan hanya sejalan dengan kepentingan negara-negara anggotanya tetapi tidak jarang juga berlangsung sebagai bagian dari strategi negara untuk meraih keuntungan dari keberadaan Uni Eropa. Kesediaan negara-negara eks Eropa Tengah dan Timor untuk melakukan transformasi sistem sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan dari keberadaan Uni Eropa bukan kasus yang eksklusif. Negara-negara yang lebih besar seperti Jerman, Perancis dan Inggris juga memanfaatkan keberadaan Uni Eropa dan keanggotaannya di dalam Uni Eropa untuk mencapai atau setidaknya mendukung pencapaian tujuan nasionalnya.

Keanggotaan Jerman di Uni Eropa, misalnya, bukan hanya menguntungkan Jerman secara ekonomi, tetapi juga secara politik terkait dengan tujuan kebijakan luar negerinya ke arah negara-negara Eropa Timur (Anderson and Goodman 1997, 51). Kepentingan nasional juga tercermin dalam kesediaan Perancis untuk melakukan reformasi terhadap Bank Sentralnya yang cenderung digambarkan sebagai produk dari tekanan Uni Eropa sebagai syarat bagi Perancis untuk bergabung ke dalam EMU. Seperti yang ditunjukkan oleh Anderson and Goodman, Perancis sangat berkepentingan untuk mendorong terbentuknya EMU sebagai strategi untuk mengurangi dominasi Jerman dalam kebijakan ekonomi Uni Eropa, terutama karena besarnya pengaruh Bundesbank dalam Sistem Moneter Eropa (Anderson and Goodman 1997, 52).

Daftar kasus yang menggambarkan Eropanisasi bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara anggotanya, melainkan juga produk dari strategi negara-negara anggotanya untuk menggunakan Uni Eropa untuk mencapai kepentingan mereka bisa sangat panjang. Tetapi, kasus-kasus tersebut secara jelas memperkuat argumen bahwa Eropanisasi berlangsung sebagai proses dua arah. Negara-negara anggota mengunggah (proses uploading) kebijakan dan tujuan kebijakan nasionalnya ke tingkat regional dan menjadikan sistem governance di tingkat regional tersebut sebagai sarana untuk mendukung tujuan nasional mereka tersebut. Disamping itu, pembuat kebijakan juga menjadikan Eropanisasi sebagai sarana untuk mencapai kepentingan-kepentingan domestik mereka (Börzel 2002, 194).

Eropanisasi sebagai proses horizontal

Di luar proses yang berlangsung secara top-down dan bottom-up ataupun sebagai proses downloading ataupun uploading, Eropanisasi juga berlangsung secara horizontal (Radaelli 2006, 62). Proses ini menggambarkan bagaimana negara-negara anggota menggunakan Uni Eropa sebagai platform kebijakan untuk memperkuat pengaruhnya ke negara-negara anggota yang lain. Menurut Börzel, Schimmelfennig dan Sedelmeier, Eropanisasi sebagai proses horizontal ini biasanya dimulai oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih mapan untuk mempengaruhi negara-negara anggota yang lain yang lebih lemah (Börzel 2002; Schimmelfennig and Sedelmeier 2005).

Contoh yang seringkali ditunjukkan untuk menggambarkan proses Eropanisasi horizontal adalah kebijakan lingkungan. Meningkatnya kesadaran akan lingkungan di negara-negara anggota Uni Eropa yang mapan seperti Jerman, telah mendorong negara-negara tersebut untuk mempengaruhi kebijakan tentang lingkungan di Uni Eropa. Dorongan untuk mengunggah kebijakan nasional negara-negara tersebut ke tingkat regional adalah untuk menghindarkan dampak ekonomi dari kebijakan lingkungan di negara tersebut. Karena kebijakan yang berorientasi pada lingkungan akan cenderung menjadikan produk-produk dari negara-negara tersebut tidak cukup bersaing dengan negara-negara lain, maka memaksa negara-negara lain untuk juga meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungannya menjadi satu pilihan yang menarik. Untuk tujuan tersebut, Uni Eropa menjadi platform yang sangat strategis. Eropanisasi dalam proses ini, oleh-karenanya berlangsung dalam dua proses, yakni bottom-up (uploading) dari negara-negara anggota ke Uni Eropa, kemudian top-down (downloading) dari Uni Eropa ke negara-negara yang lain.

Eropanisasi horizontal ini tidak dapat diabaikan pengaruhnya dalam politik di Eropa. Munculnya Uni Eropa sejak awal merupakan produk dari kepentingan nasional yang diproyeksikan ke sistem Eropa dan kemudian mempengaruhi sistem nasional negara-negara lain. Proses ini terlihat misalnya dalam kebijakan kerjasama pembangunan Uni Eropa. Pengaruh negara-negara eks kolonial terhadap kebijakan Uni Eropa dalam kerjasama pembangunan sangat besar dan menjadi bagian dari kebijakan yang diikuti oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lain. Contoh lain yang sangat mencerminkan Eropanisasi horizontal adalah kecenderungan ke arah standarisasi di Uni Eropa. Munculnya kecenderungan ini antara lain disebabkan oleh proses Eropanisasi horizontal ini. Bahkan, upaya standarisasi yang dilakukan melalui Uni Eropa tidak hanya berpengaruh terhadap negara-negara anggota ataupun calon anggota Uni Eropa, tetapi juga terhadap negara-negara lain di luar Uni Eropa. Pengaruh Uni Eropa di luar sistem Eropa berlangsung melalui hubungan bilateral maupun multilateral. Penandatanganan Persetujuan Kemitraan Sukarela terhadap Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT VPA), sebuah inisiatif dari Uni Eropa untuk mengurangi pemnebangan liar dengan memperkuat keberlanjutan dan legalitas pengelolaan hutan, memperbaiki pengelolaan hutan serta mendorong perdagangan kayu yang diproduksi secara legal, oleh lebih dari 16 negara di dunia, misalnya, menggambarkan Eropanisasi melampaui batas-batas sistem governance Uni Eropa (European Commission 2019).

Penutup

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang dan sangat populer dalam kajian Eropa pada tahun 1990-an. Popularitas konsep ini menjadikan banyak orang meragukan kegunaan konsep ini sebagai kerangka analisis. Memang, adanya penafsiran yang beragam terhadap konsep ini menjadikannya sulit untuk membantu memfokuskan diri pada aspek tertentu dalam kajian Eropa. Tetapi, bab ini cenderung melihat konsep Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya Uni eropa sebagai sebuah entitas sui generis, yang terbentuk dari dua realitas kekuasaan yang berbeda. Sekalipun tidak ada perbedaan signifikan terkait dengan karakter sui generis Uni Eropa, menjelaskan bagaimana entitas dengan karakter ini bekerja cenderung diabaikan. Adalah dalam kerangka ini, Eropanisasi menjadi sebuah konsep yang sangat membantu.

Eropanisasi dalam tulisn ini dipahami secara khusus dalam kaitannya dengan integrasi Eropa. Dalam artian ini, Eropanisasi menggambarkan perubahan politik di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance.  Sebagai sistem governance, keberadaan Uni Eropa sangat mempengaruhi proses nasional di negara anggotanya. Tetapi, pengaruh Uni Eropa terhadap sistem di negara-negara anggotanya bukan sebuah proses unilinear (top-down), melainkan sebuah proses dua arah (top-down dan bottom up). Disamping itu, Eropanisasi juga berlangsung sebagai sebuah proses horizontal.

Referensi

Anderson, J.J. and Goodman, J.B. (1997). Mars or Minerva?  A United Germany, dalam Keohane, R.O., Nye, J.S. and Hoffman, S. eds. After the Cold War: International Institutions and State Strategies in Europe, 1989-1991. Harvard University Press, 23-62.

Börzel, T.A. (2002). Pace-Setting, Foot-Dragging, and Fence-Sitting: Member State Responses to Europeanization. Journal of Common Market Studies, 40 (2), 193-214.

Börzel, T.A. and Risse, T. (2000). When Europe Hits Home: Europeanization and Domestic Change. European Integration Online Papers, 4(15), 29 November.  Tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/texte/2000-015a.htm

Bulmer, S. and Burch, M. (1998). Organizing for Europe: Whitehall, the British State and European Union. Public Administration 76 (4), 601-628

Caporaso, J. (2008). The Three Worlds of Regional Integration Theory, dalam Graziano, P.R. and Vink, M.P. (eds) Europeanization: New Research Agenda. Palgrave Macmillan, 23-34.

Cowles, M.G., Caporaso, J.  and Risse, T. eds. (2001). Transforming Europe : Europeanization and Domestic Change. Cornell Studies in Political Economy. Cornell University Press

Diez, T. and Wiener, A. (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory, dalam Anja Wiener dan Thomas Diez, eds.  European integration theory (2nd ed.). Oxford University Press, 1-24.

European Commission (2019) FLEGT Regulation — FLEGT Voluntary Partnership Agreements (VPAs), tersedia online https://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.

Goetz, K.H. and Hix, S. eds. (2000). Europeanised Politics? : European Integration and National Political Systems. Ser. West european politics, 23 (4).

Graziano, P.R. and Vink, M.P. (2012). Europeanization: Concept, Theory, and Methods, dalam Bulmer, S. & Lesquene, C. (eds), The Member States of the European Union. Oxford University Press, 32-54.

Hix, S. and Goetz, K.H. (2000).  Introduction: European Integration and National Political Systems. West European Politics 23 (4), 1-26.

Hix, S. and Høyland, B.K. (2011). The political system of the European Union. Palgrave Macmillan.

Ledrech, R. (1994). Europeanization of Domestic Politics and Institutions: The Case of France. JCMS: Journal of Common Market Studies 32 (1), 69-88.

Olsen, J. P. (2002). The Many Faces of Europeanization. JCMS: Journal of Common Market Studies 40 (5), 921-952.

Quaglia, L., Neuvonen, M., Miyakoshi, M. and Cini, M. (2007). Europeanization, dalam Cini, M. ed. European Union Politics, 2nd edn. Oxford University Press, 405-420.

Radaelli, C.M.  (2000). Whither Europeanization: Concept Stretching and Substantif Change. European Integration Online Paper 4 (8), tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/pdf/2000-008.pdf

Radaelli, C.M. (2006). Europeanization: Solution or Problem?, dalam Michelle Cini and Angela K Bourne. Palgrave Advances in European Union Studies. Palgrave Advances. Palgrave Macmillan, 56-76.

Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U. (2005). Introduction: Conceptualizing the Europeanization of Central and Eastern Europe, dalam Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U., eds. The Europeanization of Central and Eastern Europe. Cornell University Press, 1-28.

Wallace, H. (2000). Europeanisation and Globalisation: Complementary or Contradictory Trends?. New Political Economy 5 (3), 369–382.

 

Versi akhir artikel ini terbit dalam volume EU: Institution, Politik dan Kebijakan, yang disunting oleh Muhadi Sugiono, Graha Ilmu, 2019.

 

[1] Reorientasi fokus kajian Eropa terlihat misalnya melalui karya-karya Ledrech (1994), Bulmer and Burch (1998), Goetz and Hix (2000).

[2] Tentang tiga tahap perkembangan teoretis untuk menjelaskan integrasi Eropa, lihat juga Diez and Wiener (2009).

[3] Eropanisasi sebagai proses yang top-down juga seringkali dikenal sebagai proses downloading karena menggambarkan dua hubungan kausal dari dua tingkatan yang berbeda, yakni regional ke nasional. Lihat Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini (2007, 406).

Eropa dan Studi Hubungan Internasional

Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

Mengapa mempelajari Eropa? Apakah masih relevan belajar Eropa saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini, ataupun pertanyaan-pertanyaan lain yang senada, sering diajukan. Beberapa perkembangan yang terjadi baik di Eropa maupun di luar Eropa memang cenderung mendorong banyak orang untuk memandang Eropa dengan skeptis. Saat ini, Uni Eropa tengah dilanda berbagai krisis. Proyek integrasi, yang telah memberikan inspirasi kepada banyak kawasan yang lain, dianggap mengalami kegagalan. Krisis ekonomi, krisis pengungsi serta meningkatnya perlawanan terhadap Uni Eropa di banyak negara anggota, yang sering diidentikkan dengan euroskeptisme, yang secara ekstrim ditunjukkan dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa,  dianggap sebagai indikasi-indikasi dari kegagalan integrasi sebagai sebuah proyek politik. Pada saat yang sama, dominasi Uni Eropa sebagai representasi Eropa terancam dengan kebangkitan Rusia di bawah Putin yang juga berusaha memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut. Penguasaan kembali Krimea oleh Rusia mencerminkan upaya Rusia untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kekuatan besar, setidaknya dalam percaturan politik di Eropa. Dan sekalipun belum menghasilkan persaingan dengan skala Perang Dingin, kebangkitan Rusia dan upayanya untuk memperluas pengaruhnya di Eropa menunjukkan adanya kontestasi terhadap identitas dan tatanan politik di Eropa. Disamping itu, perkembangan geopolitik ke arah Asia (Asian Century) serta rivalitas Cina dan Amerika dianggap semakin menyingkirkan atau setidaknya memarginalkan Eropa dalam politik internasional.

Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan Asia dan meningkatnya rivalitas antara Amerika dan Cina saat ini semakin cenderung ‘menyandera’ perhatian dunia dari Eropa, kebutuhan untuk mempelajari Eropa dalam Hubungan Internasional tidak dapat diabaikan. Eropa lebih daripada sekedar kategori geografis (kawasan). Dalam sejarah, dinamika yang ada di Eropa memiliki pengaruh dan dampak yang besar keluar dari batas-batas geografis Eropa. Pengaruh dan dampak dinamika yang terjadi di Eropa masih berpengaruh sampai saat ini. Disamping itu, kehadiran Uni Eropa memungkinkan pengkaji hubungan internasional untuk berpikir keluar dari kerangka politik kekuasaan.

 

Dinamika dan Pengaruh Global Eropa

Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah realitas baik dalam artian historis, kultural, geografis maupun sebagai sebuah identitas. Tetapi, pemahaman ini tentu saja sangat menyesatkan. Sebagai kata yang sering kita gunakan tanpa kita merasa perlu mempertanyakannya, Eropa sebenarnya bukanlah sebuah realitas tunggal dan baku, melainkan sebuah realitas yang sangat beragam dan kompleks, yang selalu berubah dan direka ataupun direka ulang. Mungkin karakter-karakter ini tidak eksklusif Eropa. Tetapi, karakter-karakter ini menjadi menarik dalam kaitannya dengan Eropa setidaknya karena dua hal. Pertama, sejarah Eropa menunjukkan adanya pola yang menarik yang ditandai dengan dinamika hubungan antara krisis dan transformasi sebagai produk dari penyelesaian krisis. Kedua, pengaruh dari dinamika yang terjadi tidak terbatas secara geografis di Eropa tetapi juga menyebar ke berbagai belahan bumi yang lain.

Eropa adalah sebuah paradoks  (Jarausch 2015, 1-2). Eropa menggambarkan dua sisi yang sangat bertentangan. Di satu sisi, Eropa identik dengan peradaban modern yang menawarkan semua kemajuan. Di sisi lain, Eropa juga identik dengan barbarisme yang tercermin antara lain melalui terjadinya Holocaust dan kolonialisme. Dua sisi Eropa ini berinteraksi dan membentuk sejarah Eropa yang sangat dinamis. Dinamika politik di Eropa ini tercermin dengan jelas misalnya dalam sejarah diplomasi di Eropa. Melalui perspektif Hegelian, A.J.P. Taylor dalam bukunya Struggle for the Mastery of Europe, 1848 – 1918, menggambarkan diplomasi Eropa yang berlangsung sejak munculnya gelombang revolusi 1848[1] sebagai sebuah pola perubahan yang terus menerus atau berulang hingga mencapai klimaksnya dengan pecahnya Perang Dunia I, ‘[N]o war is inevitable until it breaks out’  (1954, 518). Dilihat dengan cara ini, tatanan politik di Eropa sangat dinamis. Secara bergantian Eropa dilanda berbagai krisis seperti perang-perang besar dan berkepanjangan serta menikmati masa-masa damai setelah berhasil mengatasi krisis-krisis tersebut. Krisis dan upaya penyelesaian terhadap krisis menjadi bagian penting yang membentuk dinamika politik di Eropa. Setidaknya, hingga Perang Dunia II, transformasi tatanan politik di Eropa selalu diawali dengan krisis-krisis besar.

Yang menarik, krisis dan penyelesaian krisis di Eropa seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar hingga keluar dari batas-batas geografi Eropa. Institusi negara-bangsa yang menjadi basis dalam hubungan internasional hingga saat ini berkembang di Eropa sebelum akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi aspirasi bagi gerakan-gerakan untuk menentukan nasib sendiri (Bull and Watson 1984). Kemunculan negara-bangsa sebagai sebuah konsep sangat erat terkait dengan Perjanjian Westphalia, yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di dalam Kekaisaran Romawi Suci antara 1618-1648. Perjanjian Wina adalah contoh lain dari upaya penyelesaian krisis di Eropa dengan pengaruh yang sangat signifikan dalam hubungan internasional. Keberadaan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto sebagai privilege merupakan manifestasi dari sistem konser, yakni koalisi negara-negara besar, untuk menjamin perdamaian di Eropa pasca penaklukkan Napoleon (Bosco 2011, 440).

Dinamika tentu saja bukan karakter eksklusif politik di Eropa. Tetapi, pengaruh yang melampaui batas-batas geografisnya, menjadikan dinamika politik di Eropa sangat unik. Sejarawan Julio Crespo MacLennan bahkan lebih tegas lagi menyebut tidak lagi Eropa mempengaruhi dunia, tetapi ‘membentuk’ dunia modern (MacLennan 2018). Ada beberapa faktor yang ada di Eropa, yang tidak dimiliki oleh kawasan lain, yang membentuk peran unik Eropa di dunia modern. Pengaruh Eropa di dunia bermula dari ekspansi dan pendudukan teritorial di wilayah-wilayah di luar Eropa, kemudian diperkuat dengan pengaruh politik, ekonomi, kultural dan bahkan spiritual Eropa serta dengan perpindahan serta bermukimnya orang-orang Eropa di wilayah-wilayah yang didudukinya (MacLennan 2018, x-xi). Tetapi, besarnya pengaruh Eropa juga memiliki akar dalam gerakan intelektual di Eropa pada abad ke 17 dan 18 yang menyatukan gagasan-gagasan mengenai Tuhan, nalar, kemanusiaan dan alam ke dalam sebuah pandangan dunia yang berorientasi pada rasionalitas, kapitalisme, individualisme dan aturan hukum tercermin melalui berbagai bidang mulai dari seni, filsafat hingga politik. Gerakan intelektual yang dikenal sebagai Pencerahan (Enlightenment) ini yang memungkinkan modernisasi berkembang di Eropa.[2]

Pengaruh Eropa terhadap dunia tidak hanya terjadi saat Eropa mengalami perkembangan atau kemajuan. Krisis yang terjadi di Eropa juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi dunia. Dua perang besar di abad ke-20 dan dikenal sebagai Perang Dunia I dan II adalah perang-perang yang mencerminkan dinamika politik di Eropa tetapi menyeret seluruh dunia ke dalamnya. Di samping itu, munculnya negara-negara baru dari wilayah-wilayah jajahan Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II sangat dimungkinkan dengan menurunnya kekuasaan negara-negara Eropa dan krisis imperialisme yang terjadi di Eropa. Kehadiran negara-negara pasca kolonial ini mengubah secara drastis peta politik dunia pasca Perang Dunia II, dari sebuah masyarakat yang sebagian anggotanya adalah negara-negara Eropa menjadi masyarakat yang mayoritas anggotanya adalah negara-negara dari luar Eropa (Seth 2000).

 

Uni Eropa

Berkembangnya Uni Eropa semakin memperkuat argumen tentang pentingnya mempelajari Eropa, terutama bagi ilmuwan Hubungan Internasional. Pertama, berkembangnya Uni Eropa sebagai produk dari sebuah evolusi panjang yang bermula dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1952 menandai terjadinya perubahan signifikan dalam penataan politik di Eropa.  Pembentukan ECSC menandai terbentuknya tatanan politik di Eropa yang tidak lagi di bangun di atas prinsip perimbangan kekuasaan dan kompetisi antar negara tetapi di atas prinsip kerjasama dan supranasionalisme. ECSC memungkinkan dua kekuatan yang selalu bermusuhan satu sama lain, Jerman dan Perancis, untuk bekerjasama dalam pengelolaan batu bara dan baja. Pada saat yang sama, keberadaan institusi supranasional yang dikenal dengan High Authority dengan karakter supranasionalnya merupakan sebuah terobosan yang tak terbayangkan dalam politik di Eropa yang cenderung menempatkan negara sebagai pemilik kedaulatan yang absolut. Dalam artian ini, integrasi di Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah proyek perdamaian (Hermawan 2019).

Kedua,  Uni Eropa menjadi representasi penting Eropa terutama dalam hubungan internasional. Kata Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah konsep yang kohesif baik sebagai geografi, kultur, tradisi pemikiran ataupun peradaban. Pemahaman ini sangat menyesatkan karena pada dasarnya Eropa sangat terpecah-pecah secara internal seperti antara lain tercermin melalui dinamika yang digambarkan pada bagian sebelumnya. Para pemimpin Eropa pendukung integrasi membayangkan Uni Eropa sebagai jawaban terhadap sebuah pertanyaan penting dalam kaitannya dengan representasi Eropa, ‘Who speaks for Europe?’ (Pattison 1978).[3] Memang, Uni Eropa dan Eropa adalah dua hal yang berbeda. Tetapi, perluasan keanggotaannya hingga ke negara-negara Eropa timur dan tengah menjadikan Uni Eropa saat ini mewakili lebih dari 60% negara-negara di Eropa.[4]

Ketiga, Uni Eropa membangkitkan kembali Eropa sebagai sebuah identitas bersama. Identitas Eropa menjadi agenda politik yang sangat penting. Identitas Eropa, dalam pandangan Presiden Dewan Eropa 2009-2014, Herman van Rompuy akan menjadikan Eropa sebagai ‘Eropa’ kembali (Agence Europe 2014). Proses integrasi, termasuk perluasan keanggotaan ke negara-negara Eropa Timur dan Tengah, memberi kontribusi yang sangat besar bagi terciptanya identitas kolektif ini (Spohn & Eder 2016). Pada saat yang sama Uni Eropa secara aktif mengkonstruksi nilai-nilai ke-Eropa-an. Identitas Eropa menjadi agenda resmi Uni Eropa pada tahun 1970an dengan ditandatanganinya Declaration on the European Identity  pada pertemuan pertemuan puncak kepala negara dan pemerintahan di Copenhagen pada tanggal 14 Desember 1973. Tentu saja identitas Eropa bukan merupakan sebuah konsep yang tidak diperdebatkan atau dikontestasikan. Di satu sisi, bangkitnya kembali Rusia di bawah Putin secara jelas menimbulkan ancaman serius ide tentang Eropa yang tercermin melalui nilai-nilai yang dipromosikan oleh Uni Eropa (Mannin & Flenley 2018, h. 1). Rusia menjadi model alternatif bagi banyak negara Eropa, termasuk di antaranya adalah negara-negara anggota  Uni Eropa. Di samping itu, Uni Eropa sendiri secara internal tidak lepas dari ancaman kelompok-kelompok yang secara umum dikenal sebagai Euroskeptis. Kekuatan kelompok Euroskeptis sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Tetapi, mereka telah mereka juga telah berkembang sebagai sebuah kekuatan bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat regional.

 

Eropa, Studi Kawasan dan Ilmu Hubungan Internasional

Memahami dinamika yang terjadi di Eropa dan pengaruh global yang dihasilkan seperti dibahas di bagian sebelumnya membantu kita untuk memahami kawasan sebagai basis untuk menghasilkan pengetahuan dalam ilmu sosial. Kontestasi untuk menguasai, mendefinisikan atau mendefinisikan ulang Eropa, yang tidak jarang berlangsung dengan cara-cara yang penuh dengan kekerasan, menunjukkan bahwa Eropa adalah lebih merupakan sebuah ide daripada sebuah realitas fisik geografis baku. Sebagai sebuah ide, Eropa selalu berubah dan hadir dalam manifestasinya yang sangat berbeda.

Kajian-kajian tentang Eropa yang didasarkan pada pemahaman tentang Eropa sebagai sebuah idea dan bukan sekedar kategori geografis, menjadikan kajian Eropa sulit ditempatkan ke dalam studi kawasan (area studies), yakni sebuah disiplin yang berbasis interdisipliner yang berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Didorong oleh kebutuhan strategis dalam persaingan dalam Perang Dingin, untuk menghasilkan ahli-ahli dan pengetahuan tentang kawasan-kawasan asing, studi kawasan dimaksudkan untuk memahami kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun budaya dalam kaitannya satu sama lain dan meletakkan aspek-aspek tersebut dalam konteks yang sangat spesifik, yani kawasan (Clowes and Bromberg 2016, h. 4). Berbeda dengan konsep tentang Eropa yang lebih merupakan ide, kawasan dalam studi kawasan mengacu pada kategori baku geografis yang didefinisikan berdasarkan kepentingan strategis militer.

Berakhirnya Perang Dingin menjadikan minat dan dukungan terhadap studi kawasan mengalami penurunan secara signifikan. Secara akademis, karakter politik studi kawasan dan konsepsi kawasan sebagai sebuah konsep geografis yang baku juga semakin dipertanyakan. Tetapi, pada saat yang sama, kesadaran akan signifikansi kawasan bagi hubungan internasional semakin meningkat dengan berakhirnya Perang Dingin. Semakin banyak ilmuwan hubungan internasional melihat kawasan sebagai perspektif dan bukan realitas geografis untuk menjelaskan konflik dan kerjasama dalam hubungan internasional (Lake and Morgan 2007, h. 7). Perkembangan paling signifikan ditunjukkan oleh kajian-kajian keamanan dan ekonomi politik internasional. Konsep-konsep seperti kompleks keamanan regional (regional security complex) atau komunitas keamanan (security community) dalam kajian keamanan internasional (Buzan, Wæver, and Wilde 1998; Buzan and Wæver 2003; Katzenstein 2005 ) atau bagaimana globalisasi dibentuk oleh atau membentuk proses regionalisasi dalam kajian ekonomi politik internasional (Stubbs and Reed 2006), misalnya, adalah merupakan contoh-contoh meningkatnya perhatian ilmuwan hubungan internasional terhadap kawasan.

Kajian Eropa bisa menjadi referensi penting untuk mengembangkan kawasan sebagai sebuah perspektif, bukan kategori geografis, dalam studi hubungan internasional. Kajian-kajian tentang Eropa berkontribusi besar bagi perkembangan-perkembangan disiplin-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan menghasilkan pengetahuan yang seringkali diperlakukan secara universal (Calhoun 2003, h. 5). Teori-teori integrasi, misalnya, berkembang dari pengalaman Eropa dengan regionalisme yang tidak hanya berfokus pada liberalisasi perdagangan sebagai produk dari negosiasi dan tawar menawar di antara negara-negara anggota Uni Eropa (Börzel 2013). Dari proses yang sangat spesifik Eropa, teori-teori integrasi menjadi basis teoritis untuk menjelaskan dan memahami kerjasama regional di berbagai kawasan.

Jika pemahaman mengenai kawasan yang membangun kajian Eropa ini digunakan untuk mengembangkan studi kawasan untuk kawasan-kawasan yang lain, kontribusinya bagi hubungan internasional tentu sangat signifikan. Mengintegrasikan studi kawasan dengan cara ini akan mengubah hubungan internasional menjadi disiplin yang lebih inklusif yang bisa merefleksikan suara dari mayoritas masyarakat dan negara di dunia yang selama ini cenderung terpinggirkan dalam disiplin hubungan internasional yang berkarakter Barat ataupun Amerika (Hoffman 1977).

Ini adalah tantangan besar bagi kurikulum studi hubungan internasional (Acharya 2014). Taruhannya sangat besar jika kita tidak menjawab tantangan ini.

 

Kajian Eropa dalam Kurikulum Studi Hubungan Internasional UGM

Kajian Eropa telah menjadi bagian dari kurikulum Studi Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (HI UGM). Tetapi, terdapat perkembangan, yang tidak selalu linear, dalam memahami Eropa dalam kurikulum HI UGM. Di awal perkembangannya, Eropa diperkenalkan sebagaimana kawasan-kawasan lain diperkenalkan, yakni dalam konteks studi kawasan. Eropa dilihat terutama melalui perspektif-perspektif sejarah dan komparatif seperti tercermin dalam mata-kuliah mata-kuliah Sejarah Diplomasi Eropa, Politik dan Pemerintahan Eropa dan Hubungan Internasional Eropa. Berkembangnya integrasi regional mendorong perubahan signifikan dalam pengajaran tentang Eropa di HI UGM. Eropa tidak lagi hanya dilihat melalui kacamata historis dan perbandingan politik, tetapi juga melalui perkembangan regionalisme di Eropa. Mata-kuliah mata-kuliah seperti Regionalisme Uni Eropa, Ekonomi Politik Regionalisme dan European Governance di samping mata-kuliah mata kuliah yang telah ada sebelumnya merupakan mata-kuliah mata kuliah yang memperkaya kajian Eropa dalam kurikulum HI UGM. Tetapi, pengayaan dan penguatan kajian Eropa dalam kurikulum HI UGM tidak mengubah karakter studi kawasan dalam memahami Eropa. Eropa dilihat sebagai sebuah kategori geografis dengan segala kekhasannya. Disamping itu, perhatian yang sangat besar terhadap integrasi Eropa cenderung mereduksi Eropa dengan Uni Eropa dan mengabaikan dinamika yang ‘membentuk’ Eropa. Konsekuensi dari pengabaian ini menjadi sangat terasa dalam kaitannya dengan berbagai krisis yang dihadapi oleh Uni Eropa.

Perubahan-perubahan kurikulum HI UGM membuka peluang untuk menata kembali kajian Eropa dengan melepaskan karakter studi kawasan dari kajian Eropa, yakni melihat Eropa sebagai sebuah ide dan bukan sekedar kategori geografis. Politik di Eropa dan Hubungan Internasional Eropa menjadi dua mata kuliah kajian Eropa yang ditawarkan dalam kurikulum HI UGM. Kedua mata kuliah ini dibangun dengan asumsi yang sangat berbasis pada ide. Politik di Eropa membahas mengenai kontestasi, definisi dan redefinisi Eropa yang berlangsung bukan hanya pada masa lalu tetapi juga saat ini. Fenomena-fenomena seperti menguatnya tantangan Rusia, aneksasi Krimea ataupun Brexit merupakan bagian dari proses kontestasi, definisi dan redefinisi Eropa yang terus berlangsung. Sementara itu, Hubungan Internasional Eropa membahas mengenai keberadaan Uni Eropa sebagai entitas sui generis dalam hubungan internasional dengan berbagai dampak dan implikasinya bagi pemahaman kita tentang hubungan internasional. Hubungan Internasional Eropa menunjukkan dua hal penting bagi studi hubungan internasional, yakni dalam kaitannya dengan keaktoran (actorness) dan dalam kaitannya dengan konsepsi tentang kekuasaan (power).[5] Keberadaan Uni Eropa menuntut pengkaji hubungan internasional untuk meninjau kembali konsep-konsep penting yang membentuk disiplin hubungan internasional.

 

Referensi

Acharya, A. (2014). Global International Relations (IR) and Regional Worlds: A New Agenda for International Studies. International Studies Quarterly, 58(4), 647–659.

Bosco, D. (2011). Uncertain Guardians: the UN Security Council’s Past and Future. International Journal, 66(2), 439–449.

Brunnstrom, D. (2009). EU Says It has Solved the Kissinger Question. Reuters, 20 November. Tersedia online di https://www.reuters.com/article/us-eu-president-kissinger-idUSTRE5AJ00B20091120

Bull, H. and Watson, A. eds. (1984). The Expansion of International Society. Clarendon Press.

Buzan, B. and Wæver, O. (2003). Regions and Powers – The Structure of International Security. Cambridge University Press

Buzan, B., Wæver, O. and Wilde, J. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Lynne Rienner.

Börzel, T. A. (2013). Comparative Regionalism: European Integration and Beyond. Dalam Carlsnaes, W., Risse, T. and Simmons, B.A. eds. Handbook of International Relations. Sage, h. 503-530.

Calhoun, C. (2003). European Studies: Always Already There and Still In Formation. Comparative European Politics, 1, h. 5–20.

Clowes, E. W. and Bromberg, S. J. eds. (2016). Area Studies in the Global Age : Community, Place, Identity. NIU Press.

Godehardt, N. (2014). The Chinese Constitution of Central Asia : Regions and Intertwined Actors in International Relations (Ser. Politics and development of contemporary china ser). Palgrave Macmillan.

Hermawan, Y.P. (2019). Integrasi Eropa sebagai sebuah Proyek Perdamaian. Dalam Sugiono, M. ed. Uni Eropa: Institusi, Politik dan Kebijakan. Graha Ilmu.

Hoffmann, S. (1977). An American Social Science: International Relations. Daedalus, 106/3, h. 41-60

Katzenstein, P. J. (2005). A World of Regions – Asia and Europe in the American Imperium. Cornell University Press.

Lake, D. A. and Morgan, P. (2007). The New Regionalism in Security Affairs. Dalam Lake, D.A. and Morgan, P. eds. Regional Orders – Building Security in a New World. The Pennsylvania State University Press. h.. 3-19.

Manners, I. (2002). Normative Power Europe: A Contradiction in Terms?. Journal of Common Market Studies, 40/2., h. 235-258.

Mannin, M. & Flenley, P. (2018). The European Union and Its Eastern Neighbourhood : Europeanisation and Its Twenty-first-century Contradictions. Manchester University Press

Pattison, M.L. (1978). Who Speaks for Europe? : The Vision of Charles de Gaulle. St. Martin’s Press.

Pomeranz, K. (2009). The Great Divergence : China, Europe, and the Making of the Modern World Economy. Princeton University Press.

Rapport, M. (2009). 1848, Year of Revolution. Basic Books.

Schuman, R. (1949). Schuman’s Speeches at the UN 1948 and 1949. Tersedia online di http://www.schuman.info/UN4849.htm

Seth, S. (2000), A ‘Postcolonial World’?. Dalam Fry, G. and O’Hagan, J. (eds). Contending Images of World Politics. Palgrave, 214-226.

Stubbs, R. and Reed, A.J. (2006). Introduction: Regionalization and Globalization. Dalam Stubbs, R. and Reed, A.J. eds. Political Economy and the Changing Global Order. Oxford University Press, h. 289-93.

Taylor, A.J.B. (1954). The Struggle for Mastery in Europe, 1848-1918. Clarendon Press.

Willfried Spohn, & Klaus Eder. (2016). Collective Memory and European Identity : The Effects of Integration and Enlargement. Routledge.

Wunderlich, J.U. (2012). The EU an Actor Sui Generis?. Journal of Common Market Studies, 50, 4, h. 653–669.

Versi akhir artikel ini terbit dalam volume The Global South: Refleksi dan Visi Studi Hubungan Internasional, yang disunting oleh Luqman nul Hakim, Muhadi Sugiono dan Mohtar Mas’oed, UGM Press, 2021.

[1] Gelombang revolusi yang terjadi pada tahun 1948 melanda seluruh Eropa dan menghancurkan tatanan konservatif yang dihasilkan oleh Kongres Wina 1815, setelah kekalahan Napoleon di Waterloo (Lihat Rapport 2010).

[2] Pencerahan seringkali dikaitkan dengan European exceptionalism, yang membedakan Eropa dari peradaban lain di muka bumi dan yang menjelaskan dominasinya di dunia. The Great Divergence karya Kenneth Pomeranz (2009), misalnya, menjelaskan mengapa pertumbuhan industri yang berkelanjutan terjadi di Eropa, bukan di Asia, sekalipun Eropa dan Asia memiliki banyak kesamaan.

[3] Pertanyaan senada diajukan oleh Henry Kissinger untuk menanggapi secara sinis perkembangan Uni Eropa pada tahun 1970an, ‘Who do I call if I want to speak to Europe?’. Pertanyaan ini memperoleh jawaban beberapa dasawarsa kemudian dengan ditetapkannya Catherine Ashton sebagai the High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy and First Vice President of the European Commission, yang merupakan Menteri Luar Negeri dalam struktur governance Uni Eropa. Mengacu pada pertanyaan Kissinger, Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barosso, secara tegas mengatakan, ‘the so-called Kissinger issue is now solved’ (Brunnstrom 2009).

[4] Representasi Eropa oleh Uni Eropa kemungkinan akan semakin meningkat karena saat ini terdapat tujuh negara calon anggota dan negara yang berminat untuk menjadi anggota Uni Eropa.

[5] Untuk perdebatan mengenai keaktoran Uni Eropa, lihat misalnya Wunderlich (2013), sementara untuk konsepsi kekuasaan yang terkait dengan Uni Eropa, lihat misalnya perdebatan mengenai konsep kekuasaan normatif Uni Eropa yang dipicu oleh Ian Manner (2002).

Uni Eropa Amankan 160 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Moderna

KOMPAS.com – Uni Eropa telah mencapai kesepakatan mengamankan hingga 160 juta dosis kandidat vaksin Covid-19 dengan perusahaan AS, Moderna. Dikutip dari Reuters, Selasa (24/11/2020), hal itu diungkapkan oleh Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen. Minggu lalu, berdasarkan data sementara dari uji klinis tahap akhir, Moderna mengatakan vaksin eksperimentalnya 94,5 persen efektif dalam mencegah Covid-19. “Saya dengan senang hati mengumumkan bahwa besok kami akan menyetujui kontrak baru untuk mendapatkan vaksin Covid-19 lainnya,” kata Ursula. “Memungkinkan kami untuk membeli hingga 160 juta dosis vaksin yang diproduksi oleh Moderna,” tambahnya. Baca juga: 5 Hal soal Vaksin AstraZeneca dan Oxford, dari Efektivitas hingga Harga Kapan vaksin dibeli? Pembelian sebenarnya akan dilakukan oleh pemerintah Uni Eropa (UE) jika vaksin tersebut disetujui oleh regulator obat UE. Sementara itu, timeline pengiriman vaksin tersebut masih belum diketahui. Namun, dikatakan dosis tersebut cukup untuk memvaksinasi 80 juta orang karena vaksin diharapkan diberikan dalam dua dosis. Pada Agustus lalu, Komisi Eksekutif UE, yang turut memimpin pembicaraan dengan pembuat vaksin atas nama negara anggota, mengatakan telah mengadakan pembicaraan awal dengan Moderna mengenai kesepakatan untuk 80 juta dosis dan opsi untuk 80 juta berikutnya. Hanya saja, persyaratan kontrak belum diungkapkan.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Uni Eropa Amankan 160 Juta Dosis Vaksin Covid-19 Moderna”, Klik untuk baca: https://www.kompas.com/tren/read/2020/11/25/131500165/uni-eropa-amankan-160-juta-dosis-vaksin-covid-19-moderna.
Penulis : Dandy Bayu Bramasta
Editor : Rizal Setyo Nugroho

Bukan Mustahil! Lulusan Vokasi RI Bakal ‘Jajah’ Eropa

Penulis: Yuni Astuti, CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia – Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) optimistis bisa membawa pendidikan vokasi “terbang” ke luar negeri, salah satunya Eropa.

Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud Wikan Sakarinto mengungkapkan beberapa strategi yang akan dilakukan guna merealisasikan cita-cita tersebut.

“Combine [menggabungkan] D3 dengan sarjana terapan. Anak-anak vokasi dari SMK, pendidikan tinggi minimal 1 semester ke luar negeri. Mengembangkan pertukaran mahasiswa. Kami ingin undang ahli dari luar negeri untuk bisa menjadi konsultan,” ujarnya dalam webinar dengan “Vokasi Siap Menerpa Eropa” di Jakarta, Rabu (4/11/2020).

Saat ini, dia mengajak seluruh anak-anak pendidikan vokasi baik itu yang mengenyam pendidikan di SMK atau mahasiswa vokasi untuk mempersiapkan diri.

Cara ini merupakan dorongan, agar siswa vokasi tertantang dan semakin mengasah dirinya untuk bisa bersaing di kancah internasional.

“Jadi intinya, selain lulusan pendidikan vokasi jadi mahir di industri, kami juga ingin lulusan SMK, bisa magang, bekerja di luar negeri dan mendirikan atau mengembangkan wirausaha di Indonesia dengan market luar negeri,” ujarnya lagi.

“Ini harus dipersiapkan dengan soft skill kuat, hard skill akan terbentuk sendiri. Kita challenge anak-anak vokasi untuk meneruskan kiprah di Eropa,” imbuhnya.

Di bawah naungannya ada tiga direktorat yaitu Direktorat Teknis SMK, Direktorat Pendidikan Tinggi Vokasi, Kursus dan pelatihan serta yang terakhir Direktorat Mitras Dudi (Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri) atau yang disebutnya “Mak Comblang” yang bertugas mempertemukan antara dunia pendidikan vokasi dan dunia usaha dunia industri.

“Ini nanti akan jadi agendanya Mitras Dudi untuk merangkum, akan dipilih dan dimasukkan ke dalam agenda, yang jelas 2021 harus membuat piloting ke 4 negara (Perancis, London, Jerman dan Belanda),” katanya.

Khusus untuk Jerman, lanjutnya, akan banyak yang bisa dilakukan. Jerman merupakan negara yang paling banyak perguruan tinggi tidak dipungut biaya pendidikan alias gratis.

“Dari 16 negara bagian, 14 diantaranya gratis, cukup menarik. Sehingga cukup banyak SMK kita yang punya kelas khusus, dan dilatih bahasa Jerman. (SMK) di daerah Jawa banyak,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Mitras Dudi Kemendikbud RI, Ahmad Saufi mengatakan melalui Dirjen Vokasi Kementerian Pendidikan RI, lulusan vokasi ini akan dipoles agar berkilau dan memiliki kecakapan sesuai dengan yang diinginkan dan bisa diterima di dunia industri.

“Anak SMK yang sebelumnya dipandang sebelah mata, kita akan poles mereka agar berkilau dengan adanya dirjen vokasi ini. Kecakapan mereka ini di mana. Di bangku sekolah atau di mana,” ujarnya.

Menurutnya, pendidikan vokasi ini tak hanya menjadi tanggung jawab Kemendikbud. Untuk itu, dia mengajak stakeholder lain untuk turut mengembangkan pendidikan vokasi ini. “Dengan semua mendukung, kita berharap anak-anak vokasi benar-benar bisa digosok agar menjadi berlian di negeri ini,” pungkasnya.

Seluruh isi berita ini diambil dari cnbcindonesia.com yang dirilis pada 05 November 2020

Biden dan Eropa, Harapan dalam Kemitraan yang Tak Nyaman

Washington DC – Presiden Prancis Emmanuel Macron telah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan baik dengan Donald Trump dalam beberapa tahun terakhir, kemenangan Joe Biden seharusnya bisa membuatnya agak rileks. Namun Macron juga mengakui masih banyak yang harus dilakukan dalam kerja sama kedua negara.

“Banyak yang harus kita lakukan untuk menghadapi tantangan hari ini. Mari bekerja sama,” tulis Macron dalam bahasa Prancis dan Inggris di Twitter tidak lama setelah sejumlah stasiun televisi besar asal Amerika Serikat mengumumkan proyeksi kemenangan Biden-Harris.

Berbeda dari terpilihnya Trump pada empat tahun lalu, para penasihat di Paris dan ibu kota Eropa lainnya tahu bagaimana harus bersikap dengan Joe Biden. Tidak ada Presiden AS lain yang memiliki pengalaman kebijakan luar negeri yang begitu kaya.

Selama menjadi senator, Biden telah banyak berkutat dengan kebijakan luar negeri. Pada awal 1990-an ia menulis studi yang berpandangan jauh ke depan tentang perang Balkan. Sebagai wakil dari Presiden Barack Obama, politisi Partai Demokrat ini juga pernah menjadi tamu di Konferensi Keamanan di Mnchen dan di forum-forum utama diskusi Transatlantik.

Singkat kata, Joseph Robinette Biden, yang masih punya latar belakang Prancis dan Irlandia, mengenal Eropa – dan orang Eropa mengenalnya.

Kebijakan yang diharapkan internasional

Kembalinya multilateralisme yang dijanjikan oleh Biden berarti sepenuhnya mendukung kepentingan Eropa sebagai mitra AS. Bila Biden resmi menjabat, kebijakan yang ia ambil dapat diharapkan sejalan dengan Uni Eropa.

Selain kembali ke Perjanjian Iklim Paris, Biden juga berencana membatalkan kemunduran AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mengenai Kesepakatan Nuklir Iran, Biden juga berencana membatalkan kebijakan luar negeri pendahulunya dan memulihkan hubungan dengan Eropa. Politisi berusia 77 tahun itu berniat mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir dengan para mullah.

Tapi satu hal yang jelas, bila resmi menjabat sebagai presiden, pada awal masa jabatannya Biden akan berfokus dalam menangani masalah di dalam negeri. Penanganan pandemi Corona menjadi prioritas dalam agenda Biden – demikian juga dengan kebijakan ekonomi. Dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (07/11) malam waktu setempat, isu perlindungan iklim muncul sebagai satu-satunya isu kebijakan luar negeri.

Tidak lagi akan berperan sebagai polisi dunia

Eropa dapat berharap bahwa hubungan dengan AS akan secara signifikan berangsur rileks di bawah kepemimpinan Biden. Namun dalam kebijakan tertentu akan ada juga kesinambungan kebijakan luar negeri dengan yang telah dibuat oleh pendahulunya. Kebijakan militer AS tidak akan berubah di bawah Presiden Biden. Sebaliknya: bahkan saat Obama masih menjabat, dia telah mengajukan penarikan pasukan AS dari Irak.

Sama seperti Trump, bagi Biden, Eropa bukanlah kawasan dunia yang menentukan dalam hal kebijakan luar negeri. Washington lebih melihat ke Asia dan menganggap kebangkitan China sebagai ancaman terbesar bagi keamanan dan kemakmuran. Perkembangan ini juga sudah terlihat di bawah kepresidenan Obama.

NATO dan target anggaran militer dua persen

Pengamat menunjukkan bahwa terkadang Biden juga bisa menjadi mitra yang membuat keadaan jadi lebih tidak nyaman daripada pendahulunya. Selama Donald Trump secara terbuka menunjukkan pengabaiannya terhadap lembaga-lembaga Barat, pemerintah Uni Eropa dapat dengan mudah mengabaikan tuntutan Washington. Namun kemungkinan pengabaian ini akan lebih sulit dilakukan apabila presiden AS di masa depan adalah orang yang mendukung konsep Eropa.

Selain itu, Biden juga diperkirakan akan terus mendorong alokasi anggaran militer yang lebih tinggi oleh Eropa dan mengingatkan mereka tentang komitmen NATO untuk menyisihkan dua persen dari produk domestik bruto untuk belanja militer.

Pengamat politik Franois Heisbourg, mantan direktur Fondation pour la Recherche Strategique di Paris, Prancis, menganalisis betapa sulitnya bagi Eropa untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab atas kebijakan keamanan seperti di Mediterania Timur, sebagai contoh.

“AS tidak memainkan peran utama di Mediterania Timur sejak 2013. Turki, Rusia, dan kekuatan lain dapat bertindak tanpa hambatan di sana,” kata Heisbourg.

Menurut Heisbourg, Eropa seharusnya lebih tertarik pada wilayah ini, tetapi saat ini hampir tidak siap untuk itu. “Kami melihat betapa sulitnya mengisi kekosongan strategis yang ditinggalkan AS,” tambahnya.

Pertanyaan soal ekonomi dan perang dagang dengan China

Eropa juga masih akan menunggu sikap Biden dalam perang dagang dengan China. Sampai sekarang Eropa melihat China terutama sebagai pasar penjualan dan mitra dagang.

Secara umum: Dalam kebijakan ekonomi, konflik dengan pemerintahan AS yang baru kemungkinan besar akan muncul dengan cepat. Prancis akan menjadi negara UE pertama yang memberlakukan pajak khusus terhadap perusahaan Internet terbesar asal AS pada Desember mendatang. Ada pula perselisihan tentang subsidi ilegal dari negara untuk Boeing. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah mengizinkan UE untuk mengenakan tarif miliaran Euro terkait masalah ini.

Potensi konflik di wilayah ini sangat besar, utamanya karena Biden sudah tidak ragu lagi ingin menjalankan kebijakan ekonomi proteksionis. Biden berencana mewajibkan otoritas AS untuk menggunakan barang dan jasa dengan label “Made in USA”.

Namun demikian, sebelum Joe Biden mengambil alih komando pemerintahan, Donald Trump masih akan tinggal di Gedung Putih selama dua setengah bulan ke depan. Fase transisi ini menjadi kritis mengingat pandemi Corona yang semakin parah.

Namun setidaknya pemerintah di Eropa bisa sedikit bernapas lega. Karena bila Trump kembali menjabat untuk periode kedua, Franois Heisbourg menganalisis bahwa keluarnya AS atau penarikan ekstensif dari NATO akan menjadi agenda berikutnya.

(ae/pkp)

Artikel ini di ambil seutuhnya dari DetikNews

PURSUING SUSTAINABLE COOPERATION: INDONESIA – EFTA CEPA (IE-CEPA)

 

https://www.gatra.com/

Writer: Hendra Manurung (Hendra Manurung is currently pursuing a doctoral degree in international relations at Padjadjaran University, Bandung)

The European Free Trade Association or EFTA is an inter-governmental organization established to promote free trade and economic integration for the benefit of its member countries (Switzerland, Norway, Liechtenstein, and Iceland) and their partner countries.

Indonesia and the EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) is a comprehensive trade agreement due to both markets access inclusiveness, trade and investment facilitation, and capacity building cooperation.

IE-CEPA signed on 16 December 2018 in Jakarta. It is expected that through the Comprehensive Economic Partnership Agreement signed by Indonesia and the European Free Trade Association will bring many mutual benefits for both sides in the future.

The IE-CEPA agreement itself suppose will boost market access to EFTA for fishery products, industry such as textiles, furniture, bicycles, electronics, and auto tires, and agriculture including coffee and palm oil.

The Ministry of Trade of Indonesia also held a Roadshow for the Indonesian Trade Agreement with EFTA countries related to the Comprehensive Economic Partnership Agreement that was completed in Makassar, South Sulawesi (http://ditjenppi.kemendag.go.id/, 26/9/2019).

For Indonesia, the European Free Trade Association (EFTA) considered as the 23rd group of non-oil and gas export destination countries and the 25th largest country of origin for non-oil and gas imports.

After going through nine complex stages that took almost 8 years, began in January 2011 to Nov. 23, 2018, finally conclude. The IE-CEPA negotiations were finally declared substantively completed by the negotiators through Joint Announcement at a meeting in Denpasar, Bali from October 29 to November 1, 2018.

Thereafter, with the signing of the IE-CEPA, a new milestone in bilateral relations between Indonesia and the EFTA countries has begun. This is due to a number of benefits that Indonesia and EFTA will get, through the IE-CEPA agreement which was declared in Geneva, Switzerland on 23 November 2018.

The IE-CEPA Agreement benefits for Indonesia are enormous due to Indonesia’s market access expansion to EFTA countries and accelerating the competitiveness quality of Indonesian products.

The cooperation between the five countries, involving Indonesia, Switzerland, Iceland, Norway, and Liechtenstein will not harm each other. In fact, there are many benefits that can be obtained, particularly with the zero-tariff policy which is applied to almost 99 percent of Indonesian products exports to EFTA countries.

The Indonesian Ministry of Foreign Affairs virtually is intensifying discussions on the ratification of the Indonesian Agreement – the European Free Trade Association (EFTA) Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) in the Tourism Services Sector in October 22, 2020 (kemlu.go.id, 27 Oct. 2020).

In the goods sector, Indonesia benefits from almost 99 percent zero tariffs. Even so, this was done in stages with various deadlines.

In detail, there were also tariff eliminations on 6,333 tariff posts or about 90 percent of the total Norwegian tariff posts. This figure covers 99.75 percent of the value of Norwegian imports from Indonesia.

Tariff elimination also occurred at 8,100 tariff posts in Iceland or around 94.28 percent of the total existing tariff posts. This figure covers 99.94 percent of Iceland’s import value from Indonesia.

There is also the elimination of tariffs on 7,042 tariff posts in Switzerland or about 81.74 percent. This figure covers 99.65 percent of the Swiss import value from Indonesia.

Indonesian export products that receive preferential rates include palm oil, fish, gold, footwear, coffee, toys, and textiles. There is also furniture, electrical equipment, machinery, bicycles, and tires.

Profits in the service trade sector also vary. Starting from the cross border where Indonesian citizens will get information and education from a distance. Indonesia can also increase the growth of e-commerce in the country and for the needs of exports abroad by optimally utilizing digital platforms.

On the consumption abroad section, the Indonesian tourism sector benefits from an increase in the number of tourists from EFTA member countries. Not to mention, the increase in capital flows from EFTA member countries to Indonesia will boost the pace of infrastructure development.

For the commercial presence, it will be increasing capacity building for generating Indonesian human resources quality through the presence of EFTA experts. An increase in the number of Indonesian workers also will be sent to EFTA countries.

Indonesian workforce certification will also be recognized by EFTA countries. Open market access for workers openly is accessible in the category of Intra Corporate Trainee, Trainee, Contract Service Supplier, Independent Professional, and Young Professional.

Indonesian product opportunities in the EFTA market are also promising and challenging. The results of the analysis of Indonesia’s potential exports with the EFTA countries (ITC, 2018) highlighted that these products with the greatest export potential from Indonesia to Switzerland are jewelry from precious metals, coffee, and footwear.

Additionally, Indonesia has the highest supply capacity for palm oil. On the other hand, the product with the strongest potential demand in Switzerland is immunology.

Products with the greatest export potential from Indonesia to Norway are nickel matte, sports footwear, and coffee. Indonesia also has the highest supply capacity for seats of cane, osier & similar products, while the product with the strongest potential demand in Norway is nickel matte.

Products with the greatest export potential from Indonesia to Iceland are shrimp, crude coconut oil, and coffee. Indonesia also has the highest supply capacity for palm oil & fractions, while motorized vehicles to transport people are the product with the strongest potential demand in Iceland.

On the investment side, this cooperation is profitable. IE-CEPA is expected to create an open, stable, and predictable business climate for investors. Increased investment will open wider opportunities for the business world, creating jobs that will improve people’s social welfare gradually.

Investments from developed countries will also have a positive impact in terms of technology and knowledge transfer, so as to increase the competitiveness of domestic commodity products and services in the international market.

The investment sectors offered by Indonesia to EFTA through IE-CEPA include fisheries, agriculture, and manufacturing of food products, textiles, chemicals, pharmaceuticals, and domestic renewable energy development.

For consumers, the elimination of these tariffs will certainly make the price of goods cheaper and of higher quality. Product choices are increasingly diverse.

Moreover, domestic business actors will also benefit more from the import duties for imports of capital goods and raw materials.

Trade facilitation commitments are also included in the IE-CEPA agreement, which will make trade regulations and customs procedures simpler and more transparent.

To conclude, with the lower prices of domestic raw materials, production costs can be reduced optimally, thereby increasing the competitiveness of various Indonesian exporting products and services abroad. (Hendra Manurung is currently pursuing a doctoral in international relations at Padjadjaran University, Bandung)