Archives August 2021

Kontribusi Kampus untuk Dunia Tanpa Nuklir

Penulis: Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

 

Eropanisasi

Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

Uni Eropa sering digambarkan sebagai entitas yang sui generis. Sebagai sebuah entitas politik, Uni Eropa adalah gabungan karakter dari dua institusi yang sangat berbeda, jika bukan bertolak belakang, yakni institusi supranasional dan organisasi internasional. Label sui generis ini  muncul karena ketidakmungkinan untuk mengidentikkannya sebagai sebuah entitas supranasional ataupun sebagai sebuah organisasi internasional. Tetapi, karakter sui generis ini cenderung tidak muncul dalam diskusi tentang Uni Eropa. Politik Uni Eropa cenderung tetap dipahami melalui dua cara yang berbeda (Hix and Høyland 2011, 16-18). Mereka yang sangat optimis memahami Uni Eropa melalui kerangka supranasionalisme. Supranasionalisme menggambarkan Uni Eropa sebagai sebuah entitas yang independen yang bukan hanya memiliki kepentingan yang mungkin sangat berbeda dari kepentingan negara-negara anggotanya, tetapi juga memiliki kekuasaan atas negara-negara anggotanya. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa berlaku untuk negara-negara anggota Uni Eropa serta warga negara mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang pesimis, Uni Eropa berkembang sebagai konsekuensi dari interaksi kepentingan di antara negara-negara anggota-anggotanya. Uni Eropa tidak akan pernah menjadi entitas supranasional yang mandiri dari negara-negara pembentuknya. Dengan kata lain, Uni Eropa semata-mata merupakan arena bagi negara-negara anggotanya untuk mengejar kepentingan mereka. Kebijakan yang diambil oleh Uni Eropa adalah produk dari negosiasi kepentingan negara-negara anggotanya. Pandangan yang kedua ini dikenal sebagai intergovernmentalisme.

Berkembangnya konsep Eropanisasi (Europeanization) pada pertengahan tahun 1990-an memberikan alternatif yang lebih proporsional untuk menjelaskan bagaimana Uni Eropa sebagai entitas sui generis bekerja. Konsep ini menghubungkan dua realitas kekuasaan, yakni Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, yang saling mempengaruhi. Konsep Eropanisasi berangkat dari asumsi bahwa integrasi regional yang berkembang ke dalam bentuk Uni Eropa menjadikan proses politik di Eropa berbeda. Eropanisasi menggambarkan penetrasi kebijakan Uni Eropa ke dalam sistem politik negara-negara anggotanya. Tetapi, konsep Eropanisasi tidak mengasumsikan adanya hubungan kekuasaan yang unilinear antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar di negara-negara anggotanya, tetapi bukan yang menentukan. Negara-negara anggota Uni Eropa berperan besar dalam menentukan apakah kebijakan Uni Eropa akan diadopsi, diubah atau ditolak. Dengan kata lain, penetrasi Uni Eropa ke negara-negara anggotanya bukan sebuah keniscayaan. Pada saat yang sama, hubungan kekuasaan antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya adalah hubungan interaksi timbal balik dan saling mempengaruhi. Negara-negara anggota Uni Eropa bukan sekedar penerima kekuasaan Uni Eropa, tetapi juga memanfaatkan Uni Eropa untuk mendukung atau memperkuat kebijakan nasional mereka.

Eropanisasi dan integrasi Eropa

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang pesat pada tahun 1990-an. Tetapi, sekalipun telah menjadi sangat populer dalam kajian Eropa, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat diperdebatkan dan dipahami dengan cara yang sangat berbeda (Olsen 2002, 921; Radaelli 2000). Signifikansi Eropanisasi sebagai sebuah konsep untuk menjelaskan sebuah fenomena juga tidak jarang dipertanyakan. Keragaman pemahaman terhadap Eropanisasi menjadikannya sangat lentur sebagai sebuah konsep dan cenderung kehilangan fokus.[1]

Meskipun demikian, Eropanisasi bukan sebuah konsep yang tidak bermanfaat. Terlepas dari perbedaan pemahaman mengenai konsep ini, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat dalam konteks perubahan di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance. Dalam artian ini, Eropanisasi sebagai sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance berpengaruh terhadap politik di negara-negara anggotanya (Hix and Goetz 2000, 1). Munculnya konsep ini bukan hanya menggambarkan reorientasi kajian Eropa yang selama ini berfokus pada upaya untuk menjelaskan proses integrasi, munculnya sistem governance di tingkat regional serta kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh sistem tersebut, tetapi juga mencerminkan ‘transformasi’ Eropa yang dihasilkan oleh proses integrasi (Cowles, Caporaso and Risse 2001).

Sebagai fenomena yang menggambarkan kompleksitas dinamika interaksi antara Uni Eropa dengan negara-negara anggotanya, Eropanisasi jelas sangat terkait dengan integrasi Eropa. Minat terhadap Eropanisasi berkembang seiring dengan semakin terintegrasinya Eropa. Oleh karenanya, bagi banyak ilmuwan kajian Eropa, fenomena Eropanisasi harus dipahami dalam kerangka besar studi tentang integrasi di Eropa. Graziano dan Vink menggambarkan munculnya minat terhadap Eropanisasi sebagai ‘The Europeanization Turn’ dalam kajian Eropa. Konsep Eropanisasi membuka ruang analisis untuk melihat interaksi antara politik di level nasional dan politik di level regional yang cenderung diabaikan dalam kajian Eropa yang hingga pertengahan tahun 1990an didominasi terutama oleh upaya-upaya untuk menjelaskan proses integrasi (Graziano and Vink 2012, 33).  Tidak jauh berbeda dari Graziano dan Vink, James Caporaso juga mengkaitkan Eropanisasi dengan integrasi di Eropa. Konsep Eropanisasi berkembang dalam konteks perkembangan kajian Eropa tentang integrasi yang berlangsung dalam tiga tahap.[2] Tahap pertama adalah yang memusatkan pada penjelasan tentang munculnya dorongan untuk membangun kerjasama antar negara. Fokus kajian pada tahap ini adalah pada negara untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari kemauan negara untuk bekerjasama. Pada tahap kedua, orientasi kajian Eropa berubah secara drastis, seiring dengan semakin menguatnya institusionalisasi kerjasama di tingkat regional dan berkembangnya Uni Eropa sebagai sebuah entitas politik ataupun bahkan sebuah sistem politik yang ditandai dengan meningkatnya kompetensi Uni Eropa untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan. Kajian Eropa pada tahap ini berfokus pada upaya untuk memahami bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem bekerja. Konsep Eropanisasi berkembang sebagai bagian dari perkembangan kajian integrasi pada tahap ketiga, yakni yang memberikan perhatian pada bagaimana dampak keberadaan Uni Eropa bagi negara-negara anggotanya, yakni yang telah berkontribusi untuk membentuk Uni Eropa (Caporaso 2008).

Eropanisasi sebagai Proses Top-Down

Konsep Eropanisasi yang dipahami secara spesifik dalam kaitannya dengan integrasi Eropa pada dasarnya mencakup tiga proses, yakni yang dikenal sebagai proses top-down, proses bottom-up dan proses horizontal. Tetapi, sebagian besar pemahaman konsep Eropanisasi cenderung melihat proses top-down, yakni terkait dengan bagaimana sistem governance di Eropa berpengaruh terhadap sistem di negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan melihatnya sebagai ‘sebuah lensa teoretis tentang dampak dari integrasi terhadap struktur domestik,’ misalnya, Radaelli secara jelas menggambarkan Eropanisasi sebagai hubungan kausal yang bersifat top-down antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya (Radaelli 2006, 58).[3]

Dalam proses yang top-down ini, Eropanisasi berawal dari semakin terkonsolidasinya Uni Eropa baik dalam artian institusi, mekanisme maupun norma. Konsolidasi di tingkat regional ini menimbulkan persoalan dalam kaitannya dengan kesesuaian (fits) atau ketidaksesuaian (misfits) antara sistem governance regional dengan sistem governance nasional. Besarnya tekanan Eropanisasi sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian ataupun ketidaksesuaian kedua sistem governance: semakin besar ketidaksesuaian di antara keduanya, semakin besar tekanan terhadap sistem nasional untuk melakukan perubahan dan penyesuaian. Tekanan penyesuaian terhadap sistem governance regional ini yang kemudian mendorong perubahan dalam sistem nasional ke arah regional (Börzel and Risse 2000, 59).

Banyak contoh yang ditunjukkan terkait dengan Eropanisasi sebagai sebuah proses yang berlangsung secara top-down ini. Dalam bidang moneter, misalnya, setelah ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada tahun 1992, Uni Eropa memberikan tekanan yang kuat kepada negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan sistem moneter nasionalnya sebagai prasyarat untuk bisa diterima ke dalam Economic and Monetary Union (EMU). Prasyarat ini menempatkan negara-negara anggota Uni Eropa dalam kedua kategori di atas, yakni sesuai dan tidak sesuai. Sistem moneter Jerman, yang memiliki bank sentral yang independen (Bundesbank) adalah negara dengan sistem keuangan yang paling sesuai dengan prasyarat yang dituntut oleh Uni Eropa, sementara Perancis adalah negara yang paling tidak sesuai, karena bank sentralnya (Banque de France) yang cenderung di bawah kendali negara. Konsekuensinya, dalam artian proses, tekanan Eropanisasi terhadap Perancis jauh lebih kuat daripada tekanan terhadap Jerman.

Proses Eropanisasi yang berlangsung secara top-down seperti yang digambarkan oleh Radaelli secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan di tingkat nasional oleh negara-negara anggotanya. Konsep kesesuaian dan ketidaksesuaian antara sistem nasional dengan sistem regional menggambarkan bahwa perubahan di tingkat nasional secara jelas berasal dari eksternal, yakni Uni Eropa. Yang menarik, proses Eropanisasi ini terjadi bukan hanya di bidang-bidang yang cenderung dianggap low politics, tetapi juga di bidang-bidang dalam kategori high politics atau yang sangat menyentuh privilege negara-negara anggota Uni Eropa karena menyangkut kedaulatan (Wallace 2000, 369-82). Dalam kategori ini, menarik melihat bagaimana UnI Eropa berperan besar dalam mengubah kebijakan nasional misalnya yang terkait dengan mata uang, pertahanan dan keamanan, dan perbatasan. Berbagai contoh perubahan terhadap bidang-bidang yang tadinya menjadi privilege negara-negara berdaulat ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan neofungsionalisme yang cenderung melihat kerjasama antar negara bisa berjalan jika dimulai dengan kerjasama-kerjasama yang bersifat fungsional.

Tentu saja, Eropanisasi dalam artian proses yang top-down semakin nampak dalam kaitannya dengan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Negara-negara calon anggota Uni Eropa dari Eropa Timur harus melakukan serangkaian penyesuaian dalam kebijakan nasionalnya sesuai dengan permintaan Uni Eropa yang tercantum dalam Copenhagen Criteria. Keinginan negara-negara tersebut untuk bergabung ke dalam Uni Eropa memberikan Uni Eropa posisi yang sangat kuat untuk menuntut perubahan di negara-negara tersebut (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005). Eropanisasi benar-benar telah membentuk lembaga dan kebijakan negara-negara yang akan bergabung dengan Uni Eropa.

Eropanisasi sebagai proses yang timbal balik

Eropanisasi sebagai proses top-down secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap negara-negara anggotanya. Sekalipun terlihat sangat kuat, Eropanisasi sebenarnya bukan hanya melibatkan proses top-down atau proses downloading melainkan juga proses yang sebaliknya, yakni bottom-up ataupun uploading (Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini, opcit,  406). Eropanisasi tidak terjadi sebagai refleksi dari hubungan kekuasaan yang asimetris atau yang menggambarkan tekanan sepihak dari Uni Eropa kepada negara-negara anggotanya, melainkan sebagai produk dari hubungan timbal balik. Eropanisasi melibatkan proses internal di tingkat nasional disamping proses eksternal yang berupa tekanan dari Uni Eropa. Dengan kata lain, Eropanisasi adalah sebuah proses timbal balik.

Studi yang dilakukan oleh Schimmelfennig dan Sedelmeier terkait dengan keinginan negara-negara di Eropa Tengah dan Timur untuk menjadi anggota Uni Eropa sebenarnya secara jelas menggambarkan proses dua arah ini (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005, 1). Kemampuan Uni Eropa untuk memaksakan perubahan di negara-negara tersebut untuk memenuhi Copenhagen Criteria bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara ini. Kemampuan Uni Eropa menjadi tidak bermakna jika negara-negara tersebut tidak berkeinginan untuk menjadi anggota negara-negara Uni Eropa. Dalam artian ini, pertimbangan-petimbangan nasional di negara-negara tersebut yang berupa peluang ekonomi yang dijanjikan oleh Uni Eropa maupun meningkatnya leverage negara-negara tersebut di dunia internasional sebagai bagian dari Uni Eropa menjadi faktor penting bagi negara-negara tersebut untuk menerima tuntutan Uni Eropa akan transformasi sistemik di negara-negara tersebut (Wallace 2000, 1).

Eropanisasi sebagai sebuah proses dua arah jelas menggambarkan eksistensi kedaulatan negara-negara anggotanya. Dalam konteks ini, Eropanisasi bukan hanya sejalan dengan kepentingan negara-negara anggotanya tetapi tidak jarang juga berlangsung sebagai bagian dari strategi negara untuk meraih keuntungan dari keberadaan Uni Eropa. Kesediaan negara-negara eks Eropa Tengah dan Timor untuk melakukan transformasi sistem sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan dari keberadaan Uni Eropa bukan kasus yang eksklusif. Negara-negara yang lebih besar seperti Jerman, Perancis dan Inggris juga memanfaatkan keberadaan Uni Eropa dan keanggotaannya di dalam Uni Eropa untuk mencapai atau setidaknya mendukung pencapaian tujuan nasionalnya.

Keanggotaan Jerman di Uni Eropa, misalnya, bukan hanya menguntungkan Jerman secara ekonomi, tetapi juga secara politik terkait dengan tujuan kebijakan luar negerinya ke arah negara-negara Eropa Timur (Anderson and Goodman 1997, 51). Kepentingan nasional juga tercermin dalam kesediaan Perancis untuk melakukan reformasi terhadap Bank Sentralnya yang cenderung digambarkan sebagai produk dari tekanan Uni Eropa sebagai syarat bagi Perancis untuk bergabung ke dalam EMU. Seperti yang ditunjukkan oleh Anderson and Goodman, Perancis sangat berkepentingan untuk mendorong terbentuknya EMU sebagai strategi untuk mengurangi dominasi Jerman dalam kebijakan ekonomi Uni Eropa, terutama karena besarnya pengaruh Bundesbank dalam Sistem Moneter Eropa (Anderson and Goodman 1997, 52).

Daftar kasus yang menggambarkan Eropanisasi bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara anggotanya, melainkan juga produk dari strategi negara-negara anggotanya untuk menggunakan Uni Eropa untuk mencapai kepentingan mereka bisa sangat panjang. Tetapi, kasus-kasus tersebut secara jelas memperkuat argumen bahwa Eropanisasi berlangsung sebagai proses dua arah. Negara-negara anggota mengunggah (proses uploading) kebijakan dan tujuan kebijakan nasionalnya ke tingkat regional dan menjadikan sistem governance di tingkat regional tersebut sebagai sarana untuk mendukung tujuan nasional mereka tersebut. Disamping itu, pembuat kebijakan juga menjadikan Eropanisasi sebagai sarana untuk mencapai kepentingan-kepentingan domestik mereka (Börzel 2002, 194).

Eropanisasi sebagai proses horizontal

Di luar proses yang berlangsung secara top-down dan bottom-up ataupun sebagai proses downloading ataupun uploading, Eropanisasi juga berlangsung secara horizontal (Radaelli 2006, 62). Proses ini menggambarkan bagaimana negara-negara anggota menggunakan Uni Eropa sebagai platform kebijakan untuk memperkuat pengaruhnya ke negara-negara anggota yang lain. Menurut Börzel, Schimmelfennig dan Sedelmeier, Eropanisasi sebagai proses horizontal ini biasanya dimulai oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih mapan untuk mempengaruhi negara-negara anggota yang lain yang lebih lemah (Börzel 2002; Schimmelfennig and Sedelmeier 2005).

Contoh yang seringkali ditunjukkan untuk menggambarkan proses Eropanisasi horizontal adalah kebijakan lingkungan. Meningkatnya kesadaran akan lingkungan di negara-negara anggota Uni Eropa yang mapan seperti Jerman, telah mendorong negara-negara tersebut untuk mempengaruhi kebijakan tentang lingkungan di Uni Eropa. Dorongan untuk mengunggah kebijakan nasional negara-negara tersebut ke tingkat regional adalah untuk menghindarkan dampak ekonomi dari kebijakan lingkungan di negara tersebut. Karena kebijakan yang berorientasi pada lingkungan akan cenderung menjadikan produk-produk dari negara-negara tersebut tidak cukup bersaing dengan negara-negara lain, maka memaksa negara-negara lain untuk juga meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungannya menjadi satu pilihan yang menarik. Untuk tujuan tersebut, Uni Eropa menjadi platform yang sangat strategis. Eropanisasi dalam proses ini, oleh-karenanya berlangsung dalam dua proses, yakni bottom-up (uploading) dari negara-negara anggota ke Uni Eropa, kemudian top-down (downloading) dari Uni Eropa ke negara-negara yang lain.

Eropanisasi horizontal ini tidak dapat diabaikan pengaruhnya dalam politik di Eropa. Munculnya Uni Eropa sejak awal merupakan produk dari kepentingan nasional yang diproyeksikan ke sistem Eropa dan kemudian mempengaruhi sistem nasional negara-negara lain. Proses ini terlihat misalnya dalam kebijakan kerjasama pembangunan Uni Eropa. Pengaruh negara-negara eks kolonial terhadap kebijakan Uni Eropa dalam kerjasama pembangunan sangat besar dan menjadi bagian dari kebijakan yang diikuti oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lain. Contoh lain yang sangat mencerminkan Eropanisasi horizontal adalah kecenderungan ke arah standarisasi di Uni Eropa. Munculnya kecenderungan ini antara lain disebabkan oleh proses Eropanisasi horizontal ini. Bahkan, upaya standarisasi yang dilakukan melalui Uni Eropa tidak hanya berpengaruh terhadap negara-negara anggota ataupun calon anggota Uni Eropa, tetapi juga terhadap negara-negara lain di luar Uni Eropa. Pengaruh Uni Eropa di luar sistem Eropa berlangsung melalui hubungan bilateral maupun multilateral. Penandatanganan Persetujuan Kemitraan Sukarela terhadap Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT VPA), sebuah inisiatif dari Uni Eropa untuk mengurangi pemnebangan liar dengan memperkuat keberlanjutan dan legalitas pengelolaan hutan, memperbaiki pengelolaan hutan serta mendorong perdagangan kayu yang diproduksi secara legal, oleh lebih dari 16 negara di dunia, misalnya, menggambarkan Eropanisasi melampaui batas-batas sistem governance Uni Eropa (European Commission 2019).

Penutup

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang dan sangat populer dalam kajian Eropa pada tahun 1990-an. Popularitas konsep ini menjadikan banyak orang meragukan kegunaan konsep ini sebagai kerangka analisis. Memang, adanya penafsiran yang beragam terhadap konsep ini menjadikannya sulit untuk membantu memfokuskan diri pada aspek tertentu dalam kajian Eropa. Tetapi, bab ini cenderung melihat konsep Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya Uni eropa sebagai sebuah entitas sui generis, yang terbentuk dari dua realitas kekuasaan yang berbeda. Sekalipun tidak ada perbedaan signifikan terkait dengan karakter sui generis Uni Eropa, menjelaskan bagaimana entitas dengan karakter ini bekerja cenderung diabaikan. Adalah dalam kerangka ini, Eropanisasi menjadi sebuah konsep yang sangat membantu.

Eropanisasi dalam tulisn ini dipahami secara khusus dalam kaitannya dengan integrasi Eropa. Dalam artian ini, Eropanisasi menggambarkan perubahan politik di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance.  Sebagai sistem governance, keberadaan Uni Eropa sangat mempengaruhi proses nasional di negara anggotanya. Tetapi, pengaruh Uni Eropa terhadap sistem di negara-negara anggotanya bukan sebuah proses unilinear (top-down), melainkan sebuah proses dua arah (top-down dan bottom up). Disamping itu, Eropanisasi juga berlangsung sebagai sebuah proses horizontal.

Referensi

Anderson, J.J. and Goodman, J.B. (1997). Mars or Minerva?  A United Germany, dalam Keohane, R.O., Nye, J.S. and Hoffman, S. eds. After the Cold War: International Institutions and State Strategies in Europe, 1989-1991. Harvard University Press, 23-62.

Börzel, T.A. (2002). Pace-Setting, Foot-Dragging, and Fence-Sitting: Member State Responses to Europeanization. Journal of Common Market Studies, 40 (2), 193-214.

Börzel, T.A. and Risse, T. (2000). When Europe Hits Home: Europeanization and Domestic Change. European Integration Online Papers, 4(15), 29 November.  Tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/texte/2000-015a.htm

Bulmer, S. and Burch, M. (1998). Organizing for Europe: Whitehall, the British State and European Union. Public Administration 76 (4), 601-628

Caporaso, J. (2008). The Three Worlds of Regional Integration Theory, dalam Graziano, P.R. and Vink, M.P. (eds) Europeanization: New Research Agenda. Palgrave Macmillan, 23-34.

Cowles, M.G., Caporaso, J.  and Risse, T. eds. (2001). Transforming Europe : Europeanization and Domestic Change. Cornell Studies in Political Economy. Cornell University Press

Diez, T. and Wiener, A. (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory, dalam Anja Wiener dan Thomas Diez, eds.  European integration theory (2nd ed.). Oxford University Press, 1-24.

European Commission (2019) FLEGT Regulation — FLEGT Voluntary Partnership Agreements (VPAs), tersedia online https://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.

Goetz, K.H. and Hix, S. eds. (2000). Europeanised Politics? : European Integration and National Political Systems. Ser. West european politics, 23 (4).

Graziano, P.R. and Vink, M.P. (2012). Europeanization: Concept, Theory, and Methods, dalam Bulmer, S. & Lesquene, C. (eds), The Member States of the European Union. Oxford University Press, 32-54.

Hix, S. and Goetz, K.H. (2000).  Introduction: European Integration and National Political Systems. West European Politics 23 (4), 1-26.

Hix, S. and Høyland, B.K. (2011). The political system of the European Union. Palgrave Macmillan.

Ledrech, R. (1994). Europeanization of Domestic Politics and Institutions: The Case of France. JCMS: Journal of Common Market Studies 32 (1), 69-88.

Olsen, J. P. (2002). The Many Faces of Europeanization. JCMS: Journal of Common Market Studies 40 (5), 921-952.

Quaglia, L., Neuvonen, M., Miyakoshi, M. and Cini, M. (2007). Europeanization, dalam Cini, M. ed. European Union Politics, 2nd edn. Oxford University Press, 405-420.

Radaelli, C.M.  (2000). Whither Europeanization: Concept Stretching and Substantif Change. European Integration Online Paper 4 (8), tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/pdf/2000-008.pdf

Radaelli, C.M. (2006). Europeanization: Solution or Problem?, dalam Michelle Cini and Angela K Bourne. Palgrave Advances in European Union Studies. Palgrave Advances. Palgrave Macmillan, 56-76.

Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U. (2005). Introduction: Conceptualizing the Europeanization of Central and Eastern Europe, dalam Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U., eds. The Europeanization of Central and Eastern Europe. Cornell University Press, 1-28.

Wallace, H. (2000). Europeanisation and Globalisation: Complementary or Contradictory Trends?. New Political Economy 5 (3), 369–382.

 

Versi akhir artikel ini terbit dalam volume EU: Institution, Politik dan Kebijakan, yang disunting oleh Muhadi Sugiono, Graha Ilmu, 2019.

 

[1] Reorientasi fokus kajian Eropa terlihat misalnya melalui karya-karya Ledrech (1994), Bulmer and Burch (1998), Goetz and Hix (2000).

[2] Tentang tiga tahap perkembangan teoretis untuk menjelaskan integrasi Eropa, lihat juga Diez and Wiener (2009).

[3] Eropanisasi sebagai proses yang top-down juga seringkali dikenal sebagai proses downloading karena menggambarkan dua hubungan kausal dari dua tingkatan yang berbeda, yakni regional ke nasional. Lihat Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini (2007, 406).