Biden dan Eropa, Harapan dalam Kemitraan yang Tak Nyaman

Biden dan Eropa, Harapan dalam Kemitraan yang Tak Nyaman

Washington DC – Presiden Prancis Emmanuel Macron telah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan baik dengan Donald Trump dalam beberapa tahun terakhir, kemenangan Joe Biden seharusnya bisa membuatnya agak rileks. Namun Macron juga mengakui masih banyak yang harus dilakukan dalam kerja sama kedua negara.

“Banyak yang harus kita lakukan untuk menghadapi tantangan hari ini. Mari bekerja sama,” tulis Macron dalam bahasa Prancis dan Inggris di Twitter tidak lama setelah sejumlah stasiun televisi besar asal Amerika Serikat mengumumkan proyeksi kemenangan Biden-Harris.

Berbeda dari terpilihnya Trump pada empat tahun lalu, para penasihat di Paris dan ibu kota Eropa lainnya tahu bagaimana harus bersikap dengan Joe Biden. Tidak ada Presiden AS lain yang memiliki pengalaman kebijakan luar negeri yang begitu kaya.

Selama menjadi senator, Biden telah banyak berkutat dengan kebijakan luar negeri. Pada awal 1990-an ia menulis studi yang berpandangan jauh ke depan tentang perang Balkan. Sebagai wakil dari Presiden Barack Obama, politisi Partai Demokrat ini juga pernah menjadi tamu di Konferensi Keamanan di Mnchen dan di forum-forum utama diskusi Transatlantik.

Singkat kata, Joseph Robinette Biden, yang masih punya latar belakang Prancis dan Irlandia, mengenal Eropa – dan orang Eropa mengenalnya.

Kebijakan yang diharapkan internasional

Kembalinya multilateralisme yang dijanjikan oleh Biden berarti sepenuhnya mendukung kepentingan Eropa sebagai mitra AS. Bila Biden resmi menjabat, kebijakan yang ia ambil dapat diharapkan sejalan dengan Uni Eropa.

Selain kembali ke Perjanjian Iklim Paris, Biden juga berencana membatalkan kemunduran AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mengenai Kesepakatan Nuklir Iran, Biden juga berencana membatalkan kebijakan luar negeri pendahulunya dan memulihkan hubungan dengan Eropa. Politisi berusia 77 tahun itu berniat mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir dengan para mullah.

Tapi satu hal yang jelas, bila resmi menjabat sebagai presiden, pada awal masa jabatannya Biden akan berfokus dalam menangani masalah di dalam negeri. Penanganan pandemi Corona menjadi prioritas dalam agenda Biden – demikian juga dengan kebijakan ekonomi. Dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (07/11) malam waktu setempat, isu perlindungan iklim muncul sebagai satu-satunya isu kebijakan luar negeri.

Tidak lagi akan berperan sebagai polisi dunia

Eropa dapat berharap bahwa hubungan dengan AS akan secara signifikan berangsur rileks di bawah kepemimpinan Biden. Namun dalam kebijakan tertentu akan ada juga kesinambungan kebijakan luar negeri dengan yang telah dibuat oleh pendahulunya. Kebijakan militer AS tidak akan berubah di bawah Presiden Biden. Sebaliknya: bahkan saat Obama masih menjabat, dia telah mengajukan penarikan pasukan AS dari Irak.

Sama seperti Trump, bagi Biden, Eropa bukanlah kawasan dunia yang menentukan dalam hal kebijakan luar negeri. Washington lebih melihat ke Asia dan menganggap kebangkitan China sebagai ancaman terbesar bagi keamanan dan kemakmuran. Perkembangan ini juga sudah terlihat di bawah kepresidenan Obama.

NATO dan target anggaran militer dua persen

Pengamat menunjukkan bahwa terkadang Biden juga bisa menjadi mitra yang membuat keadaan jadi lebih tidak nyaman daripada pendahulunya. Selama Donald Trump secara terbuka menunjukkan pengabaiannya terhadap lembaga-lembaga Barat, pemerintah Uni Eropa dapat dengan mudah mengabaikan tuntutan Washington. Namun kemungkinan pengabaian ini akan lebih sulit dilakukan apabila presiden AS di masa depan adalah orang yang mendukung konsep Eropa.

Selain itu, Biden juga diperkirakan akan terus mendorong alokasi anggaran militer yang lebih tinggi oleh Eropa dan mengingatkan mereka tentang komitmen NATO untuk menyisihkan dua persen dari produk domestik bruto untuk belanja militer.

Pengamat politik Franois Heisbourg, mantan direktur Fondation pour la Recherche Strategique di Paris, Prancis, menganalisis betapa sulitnya bagi Eropa untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab atas kebijakan keamanan seperti di Mediterania Timur, sebagai contoh.

“AS tidak memainkan peran utama di Mediterania Timur sejak 2013. Turki, Rusia, dan kekuatan lain dapat bertindak tanpa hambatan di sana,” kata Heisbourg.

Menurut Heisbourg, Eropa seharusnya lebih tertarik pada wilayah ini, tetapi saat ini hampir tidak siap untuk itu. “Kami melihat betapa sulitnya mengisi kekosongan strategis yang ditinggalkan AS,” tambahnya.

Pertanyaan soal ekonomi dan perang dagang dengan China

Eropa juga masih akan menunggu sikap Biden dalam perang dagang dengan China. Sampai sekarang Eropa melihat China terutama sebagai pasar penjualan dan mitra dagang.

Secara umum: Dalam kebijakan ekonomi, konflik dengan pemerintahan AS yang baru kemungkinan besar akan muncul dengan cepat. Prancis akan menjadi negara UE pertama yang memberlakukan pajak khusus terhadap perusahaan Internet terbesar asal AS pada Desember mendatang. Ada pula perselisihan tentang subsidi ilegal dari negara untuk Boeing. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah mengizinkan UE untuk mengenakan tarif miliaran Euro terkait masalah ini.

Potensi konflik di wilayah ini sangat besar, utamanya karena Biden sudah tidak ragu lagi ingin menjalankan kebijakan ekonomi proteksionis. Biden berencana mewajibkan otoritas AS untuk menggunakan barang dan jasa dengan label “Made in USA”.

Namun demikian, sebelum Joe Biden mengambil alih komando pemerintahan, Donald Trump masih akan tinggal di Gedung Putih selama dua setengah bulan ke depan. Fase transisi ini menjadi kritis mengingat pandemi Corona yang semakin parah.

Namun setidaknya pemerintah di Eropa bisa sedikit bernapas lega. Karena bila Trump kembali menjabat untuk periode kedua, Franois Heisbourg menganalisis bahwa keluarnya AS atau penarikan ekstensif dari NATO akan menjadi agenda berikutnya.

(ae/pkp)

Artikel ini di ambil seutuhnya dari DetikNews

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *