Tag Studi Hubungan Internasional

Eropa dan Studi Hubungan Internasional

Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

Mengapa mempelajari Eropa? Apakah masih relevan belajar Eropa saat ini? Pertanyaan-pertanyaan ini, ataupun pertanyaan-pertanyaan lain yang senada, sering diajukan. Beberapa perkembangan yang terjadi baik di Eropa maupun di luar Eropa memang cenderung mendorong banyak orang untuk memandang Eropa dengan skeptis. Saat ini, Uni Eropa tengah dilanda berbagai krisis. Proyek integrasi, yang telah memberikan inspirasi kepada banyak kawasan yang lain, dianggap mengalami kegagalan. Krisis ekonomi, krisis pengungsi serta meningkatnya perlawanan terhadap Uni Eropa di banyak negara anggota, yang sering diidentikkan dengan euroskeptisme, yang secara ekstrim ditunjukkan dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa,  dianggap sebagai indikasi-indikasi dari kegagalan integrasi sebagai sebuah proyek politik. Pada saat yang sama, dominasi Uni Eropa sebagai representasi Eropa terancam dengan kebangkitan Rusia di bawah Putin yang juga berusaha memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut. Penguasaan kembali Krimea oleh Rusia mencerminkan upaya Rusia untuk menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah kekuatan besar, setidaknya dalam percaturan politik di Eropa. Dan sekalipun belum menghasilkan persaingan dengan skala Perang Dingin, kebangkitan Rusia dan upayanya untuk memperluas pengaruhnya di Eropa menunjukkan adanya kontestasi terhadap identitas dan tatanan politik di Eropa. Disamping itu, perkembangan geopolitik ke arah Asia (Asian Century) serta rivalitas Cina dan Amerika dianggap semakin menyingkirkan atau setidaknya memarginalkan Eropa dalam politik internasional.

Sekalipun tidak dapat dipungkiri bahwa kebangkitan Asia dan meningkatnya rivalitas antara Amerika dan Cina saat ini semakin cenderung ‘menyandera’ perhatian dunia dari Eropa, kebutuhan untuk mempelajari Eropa dalam Hubungan Internasional tidak dapat diabaikan. Eropa lebih daripada sekedar kategori geografis (kawasan). Dalam sejarah, dinamika yang ada di Eropa memiliki pengaruh dan dampak yang besar keluar dari batas-batas geografis Eropa. Pengaruh dan dampak dinamika yang terjadi di Eropa masih berpengaruh sampai saat ini. Disamping itu, kehadiran Uni Eropa memungkinkan pengkaji hubungan internasional untuk berpikir keluar dari kerangka politik kekuasaan.

 

Dinamika dan Pengaruh Global Eropa

Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah realitas baik dalam artian historis, kultural, geografis maupun sebagai sebuah identitas. Tetapi, pemahaman ini tentu saja sangat menyesatkan. Sebagai kata yang sering kita gunakan tanpa kita merasa perlu mempertanyakannya, Eropa sebenarnya bukanlah sebuah realitas tunggal dan baku, melainkan sebuah realitas yang sangat beragam dan kompleks, yang selalu berubah dan direka ataupun direka ulang. Mungkin karakter-karakter ini tidak eksklusif Eropa. Tetapi, karakter-karakter ini menjadi menarik dalam kaitannya dengan Eropa setidaknya karena dua hal. Pertama, sejarah Eropa menunjukkan adanya pola yang menarik yang ditandai dengan dinamika hubungan antara krisis dan transformasi sebagai produk dari penyelesaian krisis. Kedua, pengaruh dari dinamika yang terjadi tidak terbatas secara geografis di Eropa tetapi juga menyebar ke berbagai belahan bumi yang lain.

Eropa adalah sebuah paradoks  (Jarausch 2015, 1-2). Eropa menggambarkan dua sisi yang sangat bertentangan. Di satu sisi, Eropa identik dengan peradaban modern yang menawarkan semua kemajuan. Di sisi lain, Eropa juga identik dengan barbarisme yang tercermin antara lain melalui terjadinya Holocaust dan kolonialisme. Dua sisi Eropa ini berinteraksi dan membentuk sejarah Eropa yang sangat dinamis. Dinamika politik di Eropa ini tercermin dengan jelas misalnya dalam sejarah diplomasi di Eropa. Melalui perspektif Hegelian, A.J.P. Taylor dalam bukunya Struggle for the Mastery of Europe, 1848 – 1918, menggambarkan diplomasi Eropa yang berlangsung sejak munculnya gelombang revolusi 1848[1] sebagai sebuah pola perubahan yang terus menerus atau berulang hingga mencapai klimaksnya dengan pecahnya Perang Dunia I, ‘[N]o war is inevitable until it breaks out’  (1954, 518). Dilihat dengan cara ini, tatanan politik di Eropa sangat dinamis. Secara bergantian Eropa dilanda berbagai krisis seperti perang-perang besar dan berkepanjangan serta menikmati masa-masa damai setelah berhasil mengatasi krisis-krisis tersebut. Krisis dan upaya penyelesaian terhadap krisis menjadi bagian penting yang membentuk dinamika politik di Eropa. Setidaknya, hingga Perang Dunia II, transformasi tatanan politik di Eropa selalu diawali dengan krisis-krisis besar.

Yang menarik, krisis dan penyelesaian krisis di Eropa seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar hingga keluar dari batas-batas geografi Eropa. Institusi negara-bangsa yang menjadi basis dalam hubungan internasional hingga saat ini berkembang di Eropa sebelum akhirnya menyebar ke seluruh penjuru dunia dan menjadi aspirasi bagi gerakan-gerakan untuk menentukan nasib sendiri (Bull and Watson 1984). Kemunculan negara-bangsa sebagai sebuah konsep sangat erat terkait dengan Perjanjian Westphalia, yang dimaksudkan untuk mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun di dalam Kekaisaran Romawi Suci antara 1618-1648. Perjanjian Wina adalah contoh lain dari upaya penyelesaian krisis di Eropa dengan pengaruh yang sangat signifikan dalam hubungan internasional. Keberadaan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB dengan hak veto sebagai privilege merupakan manifestasi dari sistem konser, yakni koalisi negara-negara besar, untuk menjamin perdamaian di Eropa pasca penaklukkan Napoleon (Bosco 2011, 440).

Dinamika tentu saja bukan karakter eksklusif politik di Eropa. Tetapi, pengaruh yang melampaui batas-batas geografisnya, menjadikan dinamika politik di Eropa sangat unik. Sejarawan Julio Crespo MacLennan bahkan lebih tegas lagi menyebut tidak lagi Eropa mempengaruhi dunia, tetapi ‘membentuk’ dunia modern (MacLennan 2018). Ada beberapa faktor yang ada di Eropa, yang tidak dimiliki oleh kawasan lain, yang membentuk peran unik Eropa di dunia modern. Pengaruh Eropa di dunia bermula dari ekspansi dan pendudukan teritorial di wilayah-wilayah di luar Eropa, kemudian diperkuat dengan pengaruh politik, ekonomi, kultural dan bahkan spiritual Eropa serta dengan perpindahan serta bermukimnya orang-orang Eropa di wilayah-wilayah yang didudukinya (MacLennan 2018, x-xi). Tetapi, besarnya pengaruh Eropa juga memiliki akar dalam gerakan intelektual di Eropa pada abad ke 17 dan 18 yang menyatukan gagasan-gagasan mengenai Tuhan, nalar, kemanusiaan dan alam ke dalam sebuah pandangan dunia yang berorientasi pada rasionalitas, kapitalisme, individualisme dan aturan hukum tercermin melalui berbagai bidang mulai dari seni, filsafat hingga politik. Gerakan intelektual yang dikenal sebagai Pencerahan (Enlightenment) ini yang memungkinkan modernisasi berkembang di Eropa.[2]

Pengaruh Eropa terhadap dunia tidak hanya terjadi saat Eropa mengalami perkembangan atau kemajuan. Krisis yang terjadi di Eropa juga memiliki pengaruh yang sangat besar bagi dunia. Dua perang besar di abad ke-20 dan dikenal sebagai Perang Dunia I dan II adalah perang-perang yang mencerminkan dinamika politik di Eropa tetapi menyeret seluruh dunia ke dalamnya. Di samping itu, munculnya negara-negara baru dari wilayah-wilayah jajahan Eropa sejak berakhirnya Perang Dunia II sangat dimungkinkan dengan menurunnya kekuasaan negara-negara Eropa dan krisis imperialisme yang terjadi di Eropa. Kehadiran negara-negara pasca kolonial ini mengubah secara drastis peta politik dunia pasca Perang Dunia II, dari sebuah masyarakat yang sebagian anggotanya adalah negara-negara Eropa menjadi masyarakat yang mayoritas anggotanya adalah negara-negara dari luar Eropa (Seth 2000).

 

Uni Eropa

Berkembangnya Uni Eropa semakin memperkuat argumen tentang pentingnya mempelajari Eropa, terutama bagi ilmuwan Hubungan Internasional. Pertama, berkembangnya Uni Eropa sebagai produk dari sebuah evolusi panjang yang bermula dari pembentukan European Coal and Steel Community (ECSC) pada tahun 1952 menandai terjadinya perubahan signifikan dalam penataan politik di Eropa.  Pembentukan ECSC menandai terbentuknya tatanan politik di Eropa yang tidak lagi di bangun di atas prinsip perimbangan kekuasaan dan kompetisi antar negara tetapi di atas prinsip kerjasama dan supranasionalisme. ECSC memungkinkan dua kekuatan yang selalu bermusuhan satu sama lain, Jerman dan Perancis, untuk bekerjasama dalam pengelolaan batu bara dan baja. Pada saat yang sama, keberadaan institusi supranasional yang dikenal dengan High Authority dengan karakter supranasionalnya merupakan sebuah terobosan yang tak terbayangkan dalam politik di Eropa yang cenderung menempatkan negara sebagai pemilik kedaulatan yang absolut. Dalam artian ini, integrasi di Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah proyek perdamaian (Hermawan 2019).

Kedua,  Uni Eropa menjadi representasi penting Eropa terutama dalam hubungan internasional. Kata Eropa seringkali dipahami sebagai sebuah konsep yang kohesif baik sebagai geografi, kultur, tradisi pemikiran ataupun peradaban. Pemahaman ini sangat menyesatkan karena pada dasarnya Eropa sangat terpecah-pecah secara internal seperti antara lain tercermin melalui dinamika yang digambarkan pada bagian sebelumnya. Para pemimpin Eropa pendukung integrasi membayangkan Uni Eropa sebagai jawaban terhadap sebuah pertanyaan penting dalam kaitannya dengan representasi Eropa, ‘Who speaks for Europe?’ (Pattison 1978).[3] Memang, Uni Eropa dan Eropa adalah dua hal yang berbeda. Tetapi, perluasan keanggotaannya hingga ke negara-negara Eropa timur dan tengah menjadikan Uni Eropa saat ini mewakili lebih dari 60% negara-negara di Eropa.[4]

Ketiga, Uni Eropa membangkitkan kembali Eropa sebagai sebuah identitas bersama. Identitas Eropa menjadi agenda politik yang sangat penting. Identitas Eropa, dalam pandangan Presiden Dewan Eropa 2009-2014, Herman van Rompuy akan menjadikan Eropa sebagai ‘Eropa’ kembali (Agence Europe 2014). Proses integrasi, termasuk perluasan keanggotaan ke negara-negara Eropa Timur dan Tengah, memberi kontribusi yang sangat besar bagi terciptanya identitas kolektif ini (Spohn & Eder 2016). Pada saat yang sama Uni Eropa secara aktif mengkonstruksi nilai-nilai ke-Eropa-an. Identitas Eropa menjadi agenda resmi Uni Eropa pada tahun 1970an dengan ditandatanganinya Declaration on the European Identity  pada pertemuan pertemuan puncak kepala negara dan pemerintahan di Copenhagen pada tanggal 14 Desember 1973. Tentu saja identitas Eropa bukan merupakan sebuah konsep yang tidak diperdebatkan atau dikontestasikan. Di satu sisi, bangkitnya kembali Rusia di bawah Putin secara jelas menimbulkan ancaman serius ide tentang Eropa yang tercermin melalui nilai-nilai yang dipromosikan oleh Uni Eropa (Mannin & Flenley 2018, h. 1). Rusia menjadi model alternatif bagi banyak negara Eropa, termasuk di antaranya adalah negara-negara anggota  Uni Eropa. Di samping itu, Uni Eropa sendiri secara internal tidak lepas dari ancaman kelompok-kelompok yang secara umum dikenal sebagai Euroskeptis. Kekuatan kelompok Euroskeptis sangat bervariasi dari satu negara ke negara lain. Tetapi, mereka telah mereka juga telah berkembang sebagai sebuah kekuatan bukan hanya di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat regional.

 

Eropa, Studi Kawasan dan Ilmu Hubungan Internasional

Memahami dinamika yang terjadi di Eropa dan pengaruh global yang dihasilkan seperti dibahas di bagian sebelumnya membantu kita untuk memahami kawasan sebagai basis untuk menghasilkan pengetahuan dalam ilmu sosial. Kontestasi untuk menguasai, mendefinisikan atau mendefinisikan ulang Eropa, yang tidak jarang berlangsung dengan cara-cara yang penuh dengan kekerasan, menunjukkan bahwa Eropa adalah lebih merupakan sebuah ide daripada sebuah realitas fisik geografis baku. Sebagai sebuah ide, Eropa selalu berubah dan hadir dalam manifestasinya yang sangat berbeda.

Kajian-kajian tentang Eropa yang didasarkan pada pemahaman tentang Eropa sebagai sebuah idea dan bukan sekedar kategori geografis, menjadikan kajian Eropa sulit ditempatkan ke dalam studi kawasan (area studies), yakni sebuah disiplin yang berbasis interdisipliner yang berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Didorong oleh kebutuhan strategis dalam persaingan dalam Perang Dingin, untuk menghasilkan ahli-ahli dan pengetahuan tentang kawasan-kawasan asing, studi kawasan dimaksudkan untuk memahami kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun budaya dalam kaitannya satu sama lain dan meletakkan aspek-aspek tersebut dalam konteks yang sangat spesifik, yani kawasan (Clowes and Bromberg 2016, h. 4). Berbeda dengan konsep tentang Eropa yang lebih merupakan ide, kawasan dalam studi kawasan mengacu pada kategori baku geografis yang didefinisikan berdasarkan kepentingan strategis militer.

Berakhirnya Perang Dingin menjadikan minat dan dukungan terhadap studi kawasan mengalami penurunan secara signifikan. Secara akademis, karakter politik studi kawasan dan konsepsi kawasan sebagai sebuah konsep geografis yang baku juga semakin dipertanyakan. Tetapi, pada saat yang sama, kesadaran akan signifikansi kawasan bagi hubungan internasional semakin meningkat dengan berakhirnya Perang Dingin. Semakin banyak ilmuwan hubungan internasional melihat kawasan sebagai perspektif dan bukan realitas geografis untuk menjelaskan konflik dan kerjasama dalam hubungan internasional (Lake and Morgan 2007, h. 7). Perkembangan paling signifikan ditunjukkan oleh kajian-kajian keamanan dan ekonomi politik internasional. Konsep-konsep seperti kompleks keamanan regional (regional security complex) atau komunitas keamanan (security community) dalam kajian keamanan internasional (Buzan, Wæver, and Wilde 1998; Buzan and Wæver 2003; Katzenstein 2005 ) atau bagaimana globalisasi dibentuk oleh atau membentuk proses regionalisasi dalam kajian ekonomi politik internasional (Stubbs and Reed 2006), misalnya, adalah merupakan contoh-contoh meningkatnya perhatian ilmuwan hubungan internasional terhadap kawasan.

Kajian Eropa bisa menjadi referensi penting untuk mengembangkan kawasan sebagai sebuah perspektif, bukan kategori geografis, dalam studi hubungan internasional. Kajian-kajian tentang Eropa berkontribusi besar bagi perkembangan-perkembangan disiplin-disiplin dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora dan menghasilkan pengetahuan yang seringkali diperlakukan secara universal (Calhoun 2003, h. 5). Teori-teori integrasi, misalnya, berkembang dari pengalaman Eropa dengan regionalisme yang tidak hanya berfokus pada liberalisasi perdagangan sebagai produk dari negosiasi dan tawar menawar di antara negara-negara anggota Uni Eropa (Börzel 2013). Dari proses yang sangat spesifik Eropa, teori-teori integrasi menjadi basis teoritis untuk menjelaskan dan memahami kerjasama regional di berbagai kawasan.

Jika pemahaman mengenai kawasan yang membangun kajian Eropa ini digunakan untuk mengembangkan studi kawasan untuk kawasan-kawasan yang lain, kontribusinya bagi hubungan internasional tentu sangat signifikan. Mengintegrasikan studi kawasan dengan cara ini akan mengubah hubungan internasional menjadi disiplin yang lebih inklusif yang bisa merefleksikan suara dari mayoritas masyarakat dan negara di dunia yang selama ini cenderung terpinggirkan dalam disiplin hubungan internasional yang berkarakter Barat ataupun Amerika (Hoffman 1977).

Ini adalah tantangan besar bagi kurikulum studi hubungan internasional (Acharya 2014). Taruhannya sangat besar jika kita tidak menjawab tantangan ini.

 

Kajian Eropa dalam Kurikulum Studi Hubungan Internasional UGM

Kajian Eropa telah menjadi bagian dari kurikulum Studi Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada (HI UGM). Tetapi, terdapat perkembangan, yang tidak selalu linear, dalam memahami Eropa dalam kurikulum HI UGM. Di awal perkembangannya, Eropa diperkenalkan sebagaimana kawasan-kawasan lain diperkenalkan, yakni dalam konteks studi kawasan. Eropa dilihat terutama melalui perspektif-perspektif sejarah dan komparatif seperti tercermin dalam mata-kuliah mata-kuliah Sejarah Diplomasi Eropa, Politik dan Pemerintahan Eropa dan Hubungan Internasional Eropa. Berkembangnya integrasi regional mendorong perubahan signifikan dalam pengajaran tentang Eropa di HI UGM. Eropa tidak lagi hanya dilihat melalui kacamata historis dan perbandingan politik, tetapi juga melalui perkembangan regionalisme di Eropa. Mata-kuliah mata-kuliah seperti Regionalisme Uni Eropa, Ekonomi Politik Regionalisme dan European Governance di samping mata-kuliah mata kuliah yang telah ada sebelumnya merupakan mata-kuliah mata kuliah yang memperkaya kajian Eropa dalam kurikulum HI UGM. Tetapi, pengayaan dan penguatan kajian Eropa dalam kurikulum HI UGM tidak mengubah karakter studi kawasan dalam memahami Eropa. Eropa dilihat sebagai sebuah kategori geografis dengan segala kekhasannya. Disamping itu, perhatian yang sangat besar terhadap integrasi Eropa cenderung mereduksi Eropa dengan Uni Eropa dan mengabaikan dinamika yang ‘membentuk’ Eropa. Konsekuensi dari pengabaian ini menjadi sangat terasa dalam kaitannya dengan berbagai krisis yang dihadapi oleh Uni Eropa.

Perubahan-perubahan kurikulum HI UGM membuka peluang untuk menata kembali kajian Eropa dengan melepaskan karakter studi kawasan dari kajian Eropa, yakni melihat Eropa sebagai sebuah ide dan bukan sekedar kategori geografis. Politik di Eropa dan Hubungan Internasional Eropa menjadi dua mata kuliah kajian Eropa yang ditawarkan dalam kurikulum HI UGM. Kedua mata kuliah ini dibangun dengan asumsi yang sangat berbasis pada ide. Politik di Eropa membahas mengenai kontestasi, definisi dan redefinisi Eropa yang berlangsung bukan hanya pada masa lalu tetapi juga saat ini. Fenomena-fenomena seperti menguatnya tantangan Rusia, aneksasi Krimea ataupun Brexit merupakan bagian dari proses kontestasi, definisi dan redefinisi Eropa yang terus berlangsung. Sementara itu, Hubungan Internasional Eropa membahas mengenai keberadaan Uni Eropa sebagai entitas sui generis dalam hubungan internasional dengan berbagai dampak dan implikasinya bagi pemahaman kita tentang hubungan internasional. Hubungan Internasional Eropa menunjukkan dua hal penting bagi studi hubungan internasional, yakni dalam kaitannya dengan keaktoran (actorness) dan dalam kaitannya dengan konsepsi tentang kekuasaan (power).[5] Keberadaan Uni Eropa menuntut pengkaji hubungan internasional untuk meninjau kembali konsep-konsep penting yang membentuk disiplin hubungan internasional.

 

Referensi

Acharya, A. (2014). Global International Relations (IR) and Regional Worlds: A New Agenda for International Studies. International Studies Quarterly, 58(4), 647–659.

Bosco, D. (2011). Uncertain Guardians: the UN Security Council’s Past and Future. International Journal, 66(2), 439–449.

Brunnstrom, D. (2009). EU Says It has Solved the Kissinger Question. Reuters, 20 November. Tersedia online di https://www.reuters.com/article/us-eu-president-kissinger-idUSTRE5AJ00B20091120

Bull, H. and Watson, A. eds. (1984). The Expansion of International Society. Clarendon Press.

Buzan, B. and Wæver, O. (2003). Regions and Powers – The Structure of International Security. Cambridge University Press

Buzan, B., Wæver, O. and Wilde, J. (1998). Security: A New Framework for Analysis. Lynne Rienner.

Börzel, T. A. (2013). Comparative Regionalism: European Integration and Beyond. Dalam Carlsnaes, W., Risse, T. and Simmons, B.A. eds. Handbook of International Relations. Sage, h. 503-530.

Calhoun, C. (2003). European Studies: Always Already There and Still In Formation. Comparative European Politics, 1, h. 5–20.

Clowes, E. W. and Bromberg, S. J. eds. (2016). Area Studies in the Global Age : Community, Place, Identity. NIU Press.

Godehardt, N. (2014). The Chinese Constitution of Central Asia : Regions and Intertwined Actors in International Relations (Ser. Politics and development of contemporary china ser). Palgrave Macmillan.

Hermawan, Y.P. (2019). Integrasi Eropa sebagai sebuah Proyek Perdamaian. Dalam Sugiono, M. ed. Uni Eropa: Institusi, Politik dan Kebijakan. Graha Ilmu.

Hoffmann, S. (1977). An American Social Science: International Relations. Daedalus, 106/3, h. 41-60

Katzenstein, P. J. (2005). A World of Regions – Asia and Europe in the American Imperium. Cornell University Press.

Lake, D. A. and Morgan, P. (2007). The New Regionalism in Security Affairs. Dalam Lake, D.A. and Morgan, P. eds. Regional Orders – Building Security in a New World. The Pennsylvania State University Press. h.. 3-19.

Manners, I. (2002). Normative Power Europe: A Contradiction in Terms?. Journal of Common Market Studies, 40/2., h. 235-258.

Mannin, M. & Flenley, P. (2018). The European Union and Its Eastern Neighbourhood : Europeanisation and Its Twenty-first-century Contradictions. Manchester University Press

Pattison, M.L. (1978). Who Speaks for Europe? : The Vision of Charles de Gaulle. St. Martin’s Press.

Pomeranz, K. (2009). The Great Divergence : China, Europe, and the Making of the Modern World Economy. Princeton University Press.

Rapport, M. (2009). 1848, Year of Revolution. Basic Books.

Schuman, R. (1949). Schuman’s Speeches at the UN 1948 and 1949. Tersedia online di http://www.schuman.info/UN4849.htm

Seth, S. (2000), A ‘Postcolonial World’?. Dalam Fry, G. and O’Hagan, J. (eds). Contending Images of World Politics. Palgrave, 214-226.

Stubbs, R. and Reed, A.J. (2006). Introduction: Regionalization and Globalization. Dalam Stubbs, R. and Reed, A.J. eds. Political Economy and the Changing Global Order. Oxford University Press, h. 289-93.

Taylor, A.J.B. (1954). The Struggle for Mastery in Europe, 1848-1918. Clarendon Press.

Willfried Spohn, & Klaus Eder. (2016). Collective Memory and European Identity : The Effects of Integration and Enlargement. Routledge.

Wunderlich, J.U. (2012). The EU an Actor Sui Generis?. Journal of Common Market Studies, 50, 4, h. 653–669.

Versi akhir artikel ini terbit dalam volume The Global South: Refleksi dan Visi Studi Hubungan Internasional, yang disunting oleh Luqman nul Hakim, Muhadi Sugiono dan Mohtar Mas’oed, UGM Press, 2021.

[1] Gelombang revolusi yang terjadi pada tahun 1948 melanda seluruh Eropa dan menghancurkan tatanan konservatif yang dihasilkan oleh Kongres Wina 1815, setelah kekalahan Napoleon di Waterloo (Lihat Rapport 2010).

[2] Pencerahan seringkali dikaitkan dengan European exceptionalism, yang membedakan Eropa dari peradaban lain di muka bumi dan yang menjelaskan dominasinya di dunia. The Great Divergence karya Kenneth Pomeranz (2009), misalnya, menjelaskan mengapa pertumbuhan industri yang berkelanjutan terjadi di Eropa, bukan di Asia, sekalipun Eropa dan Asia memiliki banyak kesamaan.

[3] Pertanyaan senada diajukan oleh Henry Kissinger untuk menanggapi secara sinis perkembangan Uni Eropa pada tahun 1970an, ‘Who do I call if I want to speak to Europe?’. Pertanyaan ini memperoleh jawaban beberapa dasawarsa kemudian dengan ditetapkannya Catherine Ashton sebagai the High Representative of the Union for Foreign Affairs and Security Policy and First Vice President of the European Commission, yang merupakan Menteri Luar Negeri dalam struktur governance Uni Eropa. Mengacu pada pertanyaan Kissinger, Presiden Komisi Eropa, Jose Manuel Barosso, secara tegas mengatakan, ‘the so-called Kissinger issue is now solved’ (Brunnstrom 2009).

[4] Representasi Eropa oleh Uni Eropa kemungkinan akan semakin meningkat karena saat ini terdapat tujuh negara calon anggota dan negara yang berminat untuk menjadi anggota Uni Eropa.

[5] Untuk perdebatan mengenai keaktoran Uni Eropa, lihat misalnya Wunderlich (2013), sementara untuk konsepsi kekuasaan yang terkait dengan Uni Eropa, lihat misalnya perdebatan mengenai konsep kekuasaan normatif Uni Eropa yang dipicu oleh Ian Manner (2002).