Konflik Pilpres Belarusia: Kompetisi Kepentingan Global

Penulis : Yohanes Ivan Adi Kristianto (Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)

Ketika publik membicarakan Eropa, Belarusia merupakan salah satu negara yang jarangkali disinggung. Negara yang terletak di bagian timur pada benua Eropa ini relatif tertutup, dibandingkan dengan negara lain di Benua Biru. Melihat rekam jejak negara ini, eksklusifnya Belarusia bisa dipahami. Sebelum berdaulat pada 1991, Belarusia pernah bergabung dengan rezim komunis Uni Soviet. Meskipun telah lepas dari pemimpin Blok Timur, Belarusia masih menerapkan sebagian besar aturan yang dipakai saat bergabung dengan Soviet, diantaranya menutup diri dari dunia luar sebisa mungkin.

Dari 1994 hingga detik ini, Belarusia hanya pernah dipimpin oleh Aleksandr Lukashenko. Melalui pemilihan presiden (pilpres) pertama kali yang demokratis, Lukashenko berhasil mengalahkan Shushkevich dan Kebich dalam dua putaran. Setelah Shushkevich tersingkir, pada putaran kedua Lukashenko tak terbendung dengan memperoleh suara tak kurang dari 80%. (Reuters, 1994)

Memang, selama sekian tahun, Lukashenko berulangkali terpilih menjadi presiden Belarusia melalui pemilihan umum. Namun, pihak oposisi menduga kuat bahwa Lukashenko memang sengaja berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak demokratis, seperti menangkap pengkritiknya yang vokal. Konflik pilpres Belarusia sendiri dimulai dari perlawanan seorang blogger,  Sergei Tikhanovsky, pada Mei 2020 yang menyebut Lukashenko sebagai “kecoa” karena dianggap sebagai antek asing. Akhirnya, dia pun ditahan oleh aparat. Kemudian, kandidat lawan petahana yakni Mikola Statkevich, Viktor Babaryko, dan Svetlana Tikhanovskaya. Nama terakhir yang disebut dianggap sebagai lawan paling potensial bagi Lukashenko.

Jika analisis isu ini ditarik ke level internasional, peta politik semakin beragam. Pertanyaan selanjutnya, siapa saja yang terlibat dalam isu pilpres Belarusia dan apa saja kepentingan mereka?

Uni Eropa

Uni Eropa (UE) dalam konflik di Belarusia setidaknya mempunyai dua kepentingan. Pertama, UE berkepentingan menyatukan negara anggotanya kembali setelah permasalahan Covid-19 di Eropa sempat mengancam keutuhan organisasi ini. Dalam isu pilpres tersebut, baik UE maupun anggotanya sepakat mengecam tindakan represif Lukashenko terhadap lawan politiknya. Presiden Komisi Eropa, Ursula von Der Leyen, pada pertengahan Agustus 2020 menyatakan bahwa UE menyiapkan skema sanksi ekonomi atas pencederaan terhadap kebebasan berekspresi di Belarusia. (Euractiv, 2020)

Tak seperti isu bantuan Covid-19 di UE, pernyatan Leyen sebagai representasi UE disepakati negara anggota UE, bahkan oleh negara-negara yang selama ini menentang kebijakan UE. Belanda, misal, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan bahwa Belanda tidak menerima hasil dari pilpres Belarusia 2020 yang memenangkan Lukashenko. Rutte yang membuat pernyataan lewat akun Twitternya menambahkan pula bahwa Belanda siap bergabung dengan UE untuk mengeluarkan resolusi terkait masalah itu.

Sepakat dengan Belanda, Perdana Menteri Polandia, Mateusz Morawiecki juga mengecam tindak kekerasan yang diterapkan aparat pada demonstrasi di Minsk, ibukota Belarusia. Morawiecki menegaskan pentingnya kebebasan berpendapat bagi masyarakat Belarusia. (Euractiv, 2020) Bahkan, Polandia bersedia jika Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berjaga di perbatasan Polandia-Belarusia untuk menekan Lukashenko. Padahal, sebelumnya, Belanda bersama Polandia dan beberapa negara Skandinavia memprotes rencana UE menggelontorkan anggaran organisasi untuk dialokasikan sebagai hibah.

Bagi UE, permasalahan ini justru sebagai momentum untuk memperkuat kohesi regional (regional cohesiveness) yang berimplikasi pada meningkatnya kekompakan diantara mereka. Menurut Ghica (2013), kohesi regional dapat diartikan sebagai kesamaan tindakan aktor-aktor yang mendiami suatu wilayah dan secara bersamaan tindakan mereka mewakili suatu kelompok. UE, Polandia, Belanda, dan negara anggota UE lainnya dalam isu Belarusia memiliki kesamaan cara pandang sebagai bangsa Eropa Barat, sehingga menciptakan kohesi regional.

Dilihat dari letak geografis, posisi Belarusia sangatlah strategis di daratan Eropa. Belarusia bisa dikatakan sebagai penghubung antara wilayah UE dan Rusia. Hubungan antara UE dan Rusia sendiri tidak terlalu baik. Keduanya sering berseteru, walau dalam hal perdagangan, mereka cenderung saling membutuhkan. UE adalah pasar potensial bagi Rusia, sedangkan UE membutuhkan pasokan gas dari Rusia. Jika bisa mengubah Belarusia menjadi negara demokratis, Belarusia kemungkinan besar akan bergabung dengan UE. Bergabungnya Belarusia dengan UE berpotensi menjadikan daya tawar UE lebih besar terhadap Rusia sebab jalur gas Rusia bergantung pada Belarusia. (Reilly, 2020)

NATO

Selain UE, pihak lain yang berkepentingan ialah NATO, aliansi pertahanan yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS). Apa kepentingan NATO? Sebelum menjawab, perlu dipahami bahwa Belarusia sangat dekat dengan Rusia, meskipun Lukashenko sendiri berusaha memposisikan sebagai negara netral. Lukashenko akhir-akhir ini merasa dirugikan oleh Rusia yang mengurangi subsidi minyak mentah kepada Belarusia. Padahal, Lukashenko telah mengijinkan Putin, Presiden Rusia, untuk memasang pipa gas di teritori Belarusia. Presiden Belarusia ini juga memiliki kekhawatiran Belarusia bakal senasib dengan Ukraina yang dianeksasi Rusia.

Jadi, dengan keterlibatannya, NATO berusaha menekan Rusia supaya setidaknya menghambat Negeri Beruang Merah untuk menjauh dari Belarusia. NATO pun sebenarnya tidak ada intensi untuk melancarkan perang terbuka di negara tetangga Polandia tersebut. Jika Rusia bisa secara total “menguasai” Belarusia, ekonomi Rusia diprediksi bakal semakin mapan karena jalur gas dan perdagangan semakin aman. Tentu, menguatnya Rusia dalam bidang ekonomi kurang disukai oleh AS. (Kagan, 2020)

Prediksi

Setidaknya, ada tiga poin yang dapat diperkirakan terkait konflik pilpres tersebut. Pertama, konfrontasi langsung antara pihak-pihak terkait seperti Belarusia, Rusia, UE, NATO, dan AS tidak terjadi. UE dan AS cenderung memilih jalan sanksi ekonomi. Perang terbuka justru akan merugikan semua pihak karena ekonomi mereka semakin terguncang setelah menurun akibat Covid-19. Kedua, tingkat agresivitas NATO sangat bergantung pada Presiden AS, Donald Trump. Sejauh ini, Trump relatif lebih disibukkan dengan pilpres AS. Kalau dianggap menguntungkan, bukan tak mungkin Trump menggunakan NATO untuk memprovokasi keadaan. Terakhir, bila UE sukses dalam mendorong demokratisasi di Belarusia, negara anggota UE diprediksi akan bertambah satu.

Kesimpulannya, pilpres Belarusia tidak hanya melibatkan negara itu sendiri, melainkan juga aktor politik lainnya. Keterlibatan mereka disebabkan oleh posisi geografis yang menguntungkan. Khusus UE, keikutsertaan organisasi juga demi menguatkan rezim UE.

Tulisan ini pertama kali terbit di Qureta pada 10 September 2020.