Archives January 11, 2021

Konflik Pilpres Belarusia: Kompetisi Kepentingan Global

Penulis : Yohanes Ivan Adi Kristianto (Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)

Ketika publik membicarakan Eropa, Belarusia merupakan salah satu negara yang jarangkali disinggung. Negara yang terletak di bagian timur pada benua Eropa ini relatif tertutup, dibandingkan dengan negara lain di Benua Biru. Melihat rekam jejak negara ini, eksklusifnya Belarusia bisa dipahami. Sebelum berdaulat pada 1991, Belarusia pernah bergabung dengan rezim komunis Uni Soviet. Meskipun telah lepas dari pemimpin Blok Timur, Belarusia masih menerapkan sebagian besar aturan yang dipakai saat bergabung dengan Soviet, diantaranya menutup diri dari dunia luar sebisa mungkin.

Dari 1994 hingga detik ini, Belarusia hanya pernah dipimpin oleh Aleksandr Lukashenko. Melalui pemilihan presiden (pilpres) pertama kali yang demokratis, Lukashenko berhasil mengalahkan Shushkevich dan Kebich dalam dua putaran. Setelah Shushkevich tersingkir, pada putaran kedua Lukashenko tak terbendung dengan memperoleh suara tak kurang dari 80%. (Reuters, 1994)

Memang, selama sekian tahun, Lukashenko berulangkali terpilih menjadi presiden Belarusia melalui pemilihan umum. Namun, pihak oposisi menduga kuat bahwa Lukashenko memang sengaja berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak demokratis, seperti menangkap pengkritiknya yang vokal. Konflik pilpres Belarusia sendiri dimulai dari perlawanan seorang blogger,  Sergei Tikhanovsky, pada Mei 2020 yang menyebut Lukashenko sebagai “kecoa” karena dianggap sebagai antek asing. Akhirnya, dia pun ditahan oleh aparat. Kemudian, kandidat lawan petahana yakni Mikola Statkevich, Viktor Babaryko, dan Svetlana Tikhanovskaya. Nama terakhir yang disebut dianggap sebagai lawan paling potensial bagi Lukashenko.

Jika analisis isu ini ditarik ke level internasional, peta politik semakin beragam. Pertanyaan selanjutnya, siapa saja yang terlibat dalam isu pilpres Belarusia dan apa saja kepentingan mereka?

Uni Eropa

Uni Eropa (UE) dalam konflik di Belarusia setidaknya mempunyai dua kepentingan. Pertama, UE berkepentingan menyatukan negara anggotanya kembali setelah permasalahan Covid-19 di Eropa sempat mengancam keutuhan organisasi ini. Dalam isu pilpres tersebut, baik UE maupun anggotanya sepakat mengecam tindakan represif Lukashenko terhadap lawan politiknya. Presiden Komisi Eropa, Ursula von Der Leyen, pada pertengahan Agustus 2020 menyatakan bahwa UE menyiapkan skema sanksi ekonomi atas pencederaan terhadap kebebasan berekspresi di Belarusia. (Euractiv, 2020)

Tak seperti isu bantuan Covid-19 di UE, pernyatan Leyen sebagai representasi UE disepakati negara anggota UE, bahkan oleh negara-negara yang selama ini menentang kebijakan UE. Belanda, misal, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan bahwa Belanda tidak menerima hasil dari pilpres Belarusia 2020 yang memenangkan Lukashenko. Rutte yang membuat pernyataan lewat akun Twitternya menambahkan pula bahwa Belanda siap bergabung dengan UE untuk mengeluarkan resolusi terkait masalah itu.

Sepakat dengan Belanda, Perdana Menteri Polandia, Mateusz Morawiecki juga mengecam tindak kekerasan yang diterapkan aparat pada demonstrasi di Minsk, ibukota Belarusia. Morawiecki menegaskan pentingnya kebebasan berpendapat bagi masyarakat Belarusia. (Euractiv, 2020) Bahkan, Polandia bersedia jika Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berjaga di perbatasan Polandia-Belarusia untuk menekan Lukashenko. Padahal, sebelumnya, Belanda bersama Polandia dan beberapa negara Skandinavia memprotes rencana UE menggelontorkan anggaran organisasi untuk dialokasikan sebagai hibah.

Bagi UE, permasalahan ini justru sebagai momentum untuk memperkuat kohesi regional (regional cohesiveness) yang berimplikasi pada meningkatnya kekompakan diantara mereka. Menurut Ghica (2013), kohesi regional dapat diartikan sebagai kesamaan tindakan aktor-aktor yang mendiami suatu wilayah dan secara bersamaan tindakan mereka mewakili suatu kelompok. UE, Polandia, Belanda, dan negara anggota UE lainnya dalam isu Belarusia memiliki kesamaan cara pandang sebagai bangsa Eropa Barat, sehingga menciptakan kohesi regional.

Dilihat dari letak geografis, posisi Belarusia sangatlah strategis di daratan Eropa. Belarusia bisa dikatakan sebagai penghubung antara wilayah UE dan Rusia. Hubungan antara UE dan Rusia sendiri tidak terlalu baik. Keduanya sering berseteru, walau dalam hal perdagangan, mereka cenderung saling membutuhkan. UE adalah pasar potensial bagi Rusia, sedangkan UE membutuhkan pasokan gas dari Rusia. Jika bisa mengubah Belarusia menjadi negara demokratis, Belarusia kemungkinan besar akan bergabung dengan UE. Bergabungnya Belarusia dengan UE berpotensi menjadikan daya tawar UE lebih besar terhadap Rusia sebab jalur gas Rusia bergantung pada Belarusia. (Reilly, 2020)

NATO

Selain UE, pihak lain yang berkepentingan ialah NATO, aliansi pertahanan yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS). Apa kepentingan NATO? Sebelum menjawab, perlu dipahami bahwa Belarusia sangat dekat dengan Rusia, meskipun Lukashenko sendiri berusaha memposisikan sebagai negara netral. Lukashenko akhir-akhir ini merasa dirugikan oleh Rusia yang mengurangi subsidi minyak mentah kepada Belarusia. Padahal, Lukashenko telah mengijinkan Putin, Presiden Rusia, untuk memasang pipa gas di teritori Belarusia. Presiden Belarusia ini juga memiliki kekhawatiran Belarusia bakal senasib dengan Ukraina yang dianeksasi Rusia.

Jadi, dengan keterlibatannya, NATO berusaha menekan Rusia supaya setidaknya menghambat Negeri Beruang Merah untuk menjauh dari Belarusia. NATO pun sebenarnya tidak ada intensi untuk melancarkan perang terbuka di negara tetangga Polandia tersebut. Jika Rusia bisa secara total “menguasai” Belarusia, ekonomi Rusia diprediksi bakal semakin mapan karena jalur gas dan perdagangan semakin aman. Tentu, menguatnya Rusia dalam bidang ekonomi kurang disukai oleh AS. (Kagan, 2020)

Prediksi

Setidaknya, ada tiga poin yang dapat diperkirakan terkait konflik pilpres tersebut. Pertama, konfrontasi langsung antara pihak-pihak terkait seperti Belarusia, Rusia, UE, NATO, dan AS tidak terjadi. UE dan AS cenderung memilih jalan sanksi ekonomi. Perang terbuka justru akan merugikan semua pihak karena ekonomi mereka semakin terguncang setelah menurun akibat Covid-19. Kedua, tingkat agresivitas NATO sangat bergantung pada Presiden AS, Donald Trump. Sejauh ini, Trump relatif lebih disibukkan dengan pilpres AS. Kalau dianggap menguntungkan, bukan tak mungkin Trump menggunakan NATO untuk memprovokasi keadaan. Terakhir, bila UE sukses dalam mendorong demokratisasi di Belarusia, negara anggota UE diprediksi akan bertambah satu.

Kesimpulannya, pilpres Belarusia tidak hanya melibatkan negara itu sendiri, melainkan juga aktor politik lainnya. Keterlibatan mereka disebabkan oleh posisi geografis yang menguntungkan. Khusus UE, keikutsertaan organisasi juga demi menguatkan rezim UE.

Tulisan ini pertama kali terbit di Qureta pada 10 September 2020.

INDONESIA NATIONAL TOURISM DEVELOPMENT 2021 & BEYOND
Source: https://www.islandsindonesia.id/, Oct. 17, 2020

Writer: Hendra Manurung is currently doctoral candidate in international relations at Padjadjaran University, Bandung, West Java

In early April 2020, when other domestic industrial sectors have not yet experienced stagnation due to the impact of the COVID-19 global pandemic, in fact, Indonesia’s national tourism industry has already been affected badly.

Meanwhile, in mid-January 2021, when other industrial sectors also began to tidy up and move forward unfortunately Indonesian domestic tourism industry again had to hit the brakes and move backward.

Indonesian Central Statistics Agency recorded that foreign tourist visits from January to November 2020 fell by 73.6 percent on an annual basis. Although the trend of monthly visits from September to November 2020 has increased, the majority of foreign citizens visiting Indonesia are not for vacation and travel trips, but for work-related visits or on business trips.

Meanwhile, based on data from the Ministry of Tourism and Creative Economy, the decline in foreign tourist arrivals during the global pandemic had an impact on the Indonesian tourism sector, which lost foreign exchange up to the US $ 15 billion (IDR 240 trillion).

The United Nations of the World Tourism Organization (UNWTO) declares that 2020 is the worst period in tourism historical development.

Global tourism has been badly affected and it is predicted that it will take from 2.5 to 4 years to recover immediately (2020 to 2023). It is likely that the global tourism sector will experience complete recovery in mid-2024. This scenario is based on the assumption that the transmission of the COVID-19 outbreak has been successfully controlled, vaccinations are effective, and policies between countries to begin opening doors to foreign tourists.

It is recognized that the turn of the year from 2020 to 2021 has brought new hope to the international community. Vaccines become available, followed by government policies in each country announcing the availability of free vaccinations for their citizens, and countries around the world also schedule massive vaccinations.

Early December 2020, based on UNWTO data, around 70 percent of world tourist destinations have relaxed restrictions on traveling abroad and hope that the national tourism sector will begin to revive gradually.

However, entering mid-January 2021, the emergence of a new variant of COVID-19 in Britain and South Africa, as well as an increase in domestic cases that reached up to 10,000 people affected by COVID-19, made the domestic tourism industry sector again have to be patient, wait and see in the middle global economic uncertainties.

In addition to the travel restriction policy that was re-implemented by almost all countries, in Indonesia, large-scale social restrictions were also re-implemented in the country from 11 to 25 January 2021. This central government policy was prioritized in a number of areas on the island of Java and Bali, which in particular still had the status of the red zone.

Apart from the state of health and the national economy that has not yet improved, the central government continues to set its target of pursuing the development of infrastructure and infrastructure and structuring tourism areas. The Indonesian government is also targeting foreign tourist visits in 2021 to reach 4 to 7 million people. This target has been lowered previously, which reached 18 million foreign tourists.

President Joko Widodo asked the Minister of Tourism and Creative Economy, Sandiaga Uno to immediately pursue the development of five national priority tourist destinations, namely: Borobudur, Labuan Bajo, Likupang, Mandalika, Toba Lake. Indonesian Ministry of Public Works and Public Housing has budgeted an allocation of around IDR 3.51 trillion to build infrastructure.

The destination development program called the ‘5 New Bali’ is designed by the central government in Jakarta to anticipate conditions of increasing foreign tourist visits before the global pandemic began to plague Indonesia on March 2, 2020. There are criticisms related to accelerating tourism infrastructure development that should not be a top priority for the central government in Indonesia amid the spread of a pandemic that still cannot be controlled in domestic tourist destinations.

Even though the tourism industry entrepreneurs and tourism sector workers are getting worse and more in need of social and financial assistance from the government to survive amid the outbreak of the pandemic.

In the midst of a limited budget, the government needs to determine priorities and emphasize a sense of crisis.

The realistic target is to maximize the stimulus and incentive budgets for the industry as well as the distribution of cash transfers for tourism sector workers.

Based on Indonesian Ministry of Tourism and Creative Economy data, the national tourism sector absorbs 13 million workers in 2019 or 10.28 percent of the national workforce. So far, the social assistance schemes for workers are general in nature and are equalized for all sectors, not yet specific to each sector. Indonesian Ministry of Tourism and Creative Economy plans to expand the provision of direct cash assistance specifically for the tourism sector and the creative economy will soon be realized. Likewise, the provision of grants for tourism industry entrepreneurs must be evaluated and expanded to make them more effective, targeted, and efficient.

The central government and national tourism stakeholders face a difficult dilemma. The government must be faced with a choice between survival and adaptation, economic recovery, or building infrastructure and infrastructure. The position of survival and adaptation must be the top priority while being serious about suppressing the spread of the virus and holding massive vaccinations. Hopefully, gradually, the recovery of the tourism sector can be carried out in line with the pandemic control which should be kept to a minimum.

The infrastructure development project is likely to be the final stage after the tourism sector begins to recover and requires gradual reform. It is believed that the results of the construction of a large-scale tourist destination can only be enjoyed after five to ten years. The presence or absence of a massive infrastructure project does not have a direct impact on the millions of people who are now having difficulty making a living.

In Indonesia, until now, COVID-19 pandemic has presented tough test, particularly in choosing which priorities to take for policy-makers and the best benefit for entire nation.