Tag Uni Eropa

Eropanisasi

Muhadi Sugiono
Universitas Gadjah Mada
Email: msugiono@ugm.ac.id

Uni Eropa sering digambarkan sebagai entitas yang sui generis. Sebagai sebuah entitas politik, Uni Eropa adalah gabungan karakter dari dua institusi yang sangat berbeda, jika bukan bertolak belakang, yakni institusi supranasional dan organisasi internasional. Label sui generis ini  muncul karena ketidakmungkinan untuk mengidentikkannya sebagai sebuah entitas supranasional ataupun sebagai sebuah organisasi internasional. Tetapi, karakter sui generis ini cenderung tidak muncul dalam diskusi tentang Uni Eropa. Politik Uni Eropa cenderung tetap dipahami melalui dua cara yang berbeda (Hix and Høyland 2011, 16-18). Mereka yang sangat optimis memahami Uni Eropa melalui kerangka supranasionalisme. Supranasionalisme menggambarkan Uni Eropa sebagai sebuah entitas yang independen yang bukan hanya memiliki kepentingan yang mungkin sangat berbeda dari kepentingan negara-negara anggotanya, tetapi juga memiliki kekuasaan atas negara-negara anggotanya. Implikasinya, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Uni Eropa berlaku untuk negara-negara anggota Uni Eropa serta warga negara mereka. Sebaliknya, bagi mereka yang pesimis, Uni Eropa berkembang sebagai konsekuensi dari interaksi kepentingan di antara negara-negara anggota-anggotanya. Uni Eropa tidak akan pernah menjadi entitas supranasional yang mandiri dari negara-negara pembentuknya. Dengan kata lain, Uni Eropa semata-mata merupakan arena bagi negara-negara anggotanya untuk mengejar kepentingan mereka. Kebijakan yang diambil oleh Uni Eropa adalah produk dari negosiasi kepentingan negara-negara anggotanya. Pandangan yang kedua ini dikenal sebagai intergovernmentalisme.

Berkembangnya konsep Eropanisasi (Europeanization) pada pertengahan tahun 1990-an memberikan alternatif yang lebih proporsional untuk menjelaskan bagaimana Uni Eropa sebagai entitas sui generis bekerja. Konsep ini menghubungkan dua realitas kekuasaan, yakni Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, yang saling mempengaruhi. Konsep Eropanisasi berangkat dari asumsi bahwa integrasi regional yang berkembang ke dalam bentuk Uni Eropa menjadikan proses politik di Eropa berbeda. Eropanisasi menggambarkan penetrasi kebijakan Uni Eropa ke dalam sistem politik negara-negara anggotanya. Tetapi, konsep Eropanisasi tidak mengasumsikan adanya hubungan kekuasaan yang unilinear antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya. Uni Eropa memiliki pengaruh yang besar di negara-negara anggotanya, tetapi bukan yang menentukan. Negara-negara anggota Uni Eropa berperan besar dalam menentukan apakah kebijakan Uni Eropa akan diadopsi, diubah atau ditolak. Dengan kata lain, penetrasi Uni Eropa ke negara-negara anggotanya bukan sebuah keniscayaan. Pada saat yang sama, hubungan kekuasaan antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya adalah hubungan interaksi timbal balik dan saling mempengaruhi. Negara-negara anggota Uni Eropa bukan sekedar penerima kekuasaan Uni Eropa, tetapi juga memanfaatkan Uni Eropa untuk mendukung atau memperkuat kebijakan nasional mereka.

Eropanisasi dan integrasi Eropa

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang pesat pada tahun 1990-an. Tetapi, sekalipun telah menjadi sangat populer dalam kajian Eropa, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat diperdebatkan dan dipahami dengan cara yang sangat berbeda (Olsen 2002, 921; Radaelli 2000). Signifikansi Eropanisasi sebagai sebuah konsep untuk menjelaskan sebuah fenomena juga tidak jarang dipertanyakan. Keragaman pemahaman terhadap Eropanisasi menjadikannya sangat lentur sebagai sebuah konsep dan cenderung kehilangan fokus.[1]

Meskipun demikian, Eropanisasi bukan sebuah konsep yang tidak bermanfaat. Terlepas dari perbedaan pemahaman mengenai konsep ini, Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat dalam konteks perubahan di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance. Dalam artian ini, Eropanisasi sebagai sebuah konsep yang menggambarkan bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance berpengaruh terhadap politik di negara-negara anggotanya (Hix and Goetz 2000, 1). Munculnya konsep ini bukan hanya menggambarkan reorientasi kajian Eropa yang selama ini berfokus pada upaya untuk menjelaskan proses integrasi, munculnya sistem governance di tingkat regional serta kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh sistem tersebut, tetapi juga mencerminkan ‘transformasi’ Eropa yang dihasilkan oleh proses integrasi (Cowles, Caporaso and Risse 2001).

Sebagai fenomena yang menggambarkan kompleksitas dinamika interaksi antara Uni Eropa dengan negara-negara anggotanya, Eropanisasi jelas sangat terkait dengan integrasi Eropa. Minat terhadap Eropanisasi berkembang seiring dengan semakin terintegrasinya Eropa. Oleh karenanya, bagi banyak ilmuwan kajian Eropa, fenomena Eropanisasi harus dipahami dalam kerangka besar studi tentang integrasi di Eropa. Graziano dan Vink menggambarkan munculnya minat terhadap Eropanisasi sebagai ‘The Europeanization Turn’ dalam kajian Eropa. Konsep Eropanisasi membuka ruang analisis untuk melihat interaksi antara politik di level nasional dan politik di level regional yang cenderung diabaikan dalam kajian Eropa yang hingga pertengahan tahun 1990an didominasi terutama oleh upaya-upaya untuk menjelaskan proses integrasi (Graziano and Vink 2012, 33).  Tidak jauh berbeda dari Graziano dan Vink, James Caporaso juga mengkaitkan Eropanisasi dengan integrasi di Eropa. Konsep Eropanisasi berkembang dalam konteks perkembangan kajian Eropa tentang integrasi yang berlangsung dalam tiga tahap.[2] Tahap pertama adalah yang memusatkan pada penjelasan tentang munculnya dorongan untuk membangun kerjasama antar negara. Fokus kajian pada tahap ini adalah pada negara untuk menemukan faktor-faktor yang mendasari kemauan negara untuk bekerjasama. Pada tahap kedua, orientasi kajian Eropa berubah secara drastis, seiring dengan semakin menguatnya institusionalisasi kerjasama di tingkat regional dan berkembangnya Uni Eropa sebagai sebuah entitas politik ataupun bahkan sebuah sistem politik yang ditandai dengan meningkatnya kompetensi Uni Eropa untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan. Kajian Eropa pada tahap ini berfokus pada upaya untuk memahami bagaimana Uni Eropa sebagai sebuah sistem bekerja. Konsep Eropanisasi berkembang sebagai bagian dari perkembangan kajian integrasi pada tahap ketiga, yakni yang memberikan perhatian pada bagaimana dampak keberadaan Uni Eropa bagi negara-negara anggotanya, yakni yang telah berkontribusi untuk membentuk Uni Eropa (Caporaso 2008).

Eropanisasi sebagai Proses Top-Down

Konsep Eropanisasi yang dipahami secara spesifik dalam kaitannya dengan integrasi Eropa pada dasarnya mencakup tiga proses, yakni yang dikenal sebagai proses top-down, proses bottom-up dan proses horizontal. Tetapi, sebagian besar pemahaman konsep Eropanisasi cenderung melihat proses top-down, yakni terkait dengan bagaimana sistem governance di Eropa berpengaruh terhadap sistem di negara-negara anggota Uni Eropa. Dengan melihatnya sebagai ‘sebuah lensa teoretis tentang dampak dari integrasi terhadap struktur domestik,’ misalnya, Radaelli secara jelas menggambarkan Eropanisasi sebagai hubungan kausal yang bersifat top-down antara Uni Eropa dan negara-negara anggotanya (Radaelli 2006, 58).[3]

Dalam proses yang top-down ini, Eropanisasi berawal dari semakin terkonsolidasinya Uni Eropa baik dalam artian institusi, mekanisme maupun norma. Konsolidasi di tingkat regional ini menimbulkan persoalan dalam kaitannya dengan kesesuaian (fits) atau ketidaksesuaian (misfits) antara sistem governance regional dengan sistem governance nasional. Besarnya tekanan Eropanisasi sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian ataupun ketidaksesuaian kedua sistem governance: semakin besar ketidaksesuaian di antara keduanya, semakin besar tekanan terhadap sistem nasional untuk melakukan perubahan dan penyesuaian. Tekanan penyesuaian terhadap sistem governance regional ini yang kemudian mendorong perubahan dalam sistem nasional ke arah regional (Börzel and Risse 2000, 59).

Banyak contoh yang ditunjukkan terkait dengan Eropanisasi sebagai sebuah proses yang berlangsung secara top-down ini. Dalam bidang moneter, misalnya, setelah ditandatanganinya Perjanjian Maastricht pada tahun 1992, Uni Eropa memberikan tekanan yang kuat kepada negara-negara anggotanya untuk menyesuaikan sistem moneter nasionalnya sebagai prasyarat untuk bisa diterima ke dalam Economic and Monetary Union (EMU). Prasyarat ini menempatkan negara-negara anggota Uni Eropa dalam kedua kategori di atas, yakni sesuai dan tidak sesuai. Sistem moneter Jerman, yang memiliki bank sentral yang independen (Bundesbank) adalah negara dengan sistem keuangan yang paling sesuai dengan prasyarat yang dituntut oleh Uni Eropa, sementara Perancis adalah negara yang paling tidak sesuai, karena bank sentralnya (Banque de France) yang cenderung di bawah kendali negara. Konsekuensinya, dalam artian proses, tekanan Eropanisasi terhadap Perancis jauh lebih kuat daripada tekanan terhadap Jerman.

Proses Eropanisasi yang berlangsung secara top-down seperti yang digambarkan oleh Radaelli secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan di tingkat nasional oleh negara-negara anggotanya. Konsep kesesuaian dan ketidaksesuaian antara sistem nasional dengan sistem regional menggambarkan bahwa perubahan di tingkat nasional secara jelas berasal dari eksternal, yakni Uni Eropa. Yang menarik, proses Eropanisasi ini terjadi bukan hanya di bidang-bidang yang cenderung dianggap low politics, tetapi juga di bidang-bidang dalam kategori high politics atau yang sangat menyentuh privilege negara-negara anggota Uni Eropa karena menyangkut kedaulatan (Wallace 2000, 369-82). Dalam kategori ini, menarik melihat bagaimana UnI Eropa berperan besar dalam mengubah kebijakan nasional misalnya yang terkait dengan mata uang, pertahanan dan keamanan, dan perbatasan. Berbagai contoh perubahan terhadap bidang-bidang yang tadinya menjadi privilege negara-negara berdaulat ini tentu saja bertolak belakang dengan pandangan neofungsionalisme yang cenderung melihat kerjasama antar negara bisa berjalan jika dimulai dengan kerjasama-kerjasama yang bersifat fungsional.

Tentu saja, Eropanisasi dalam artian proses yang top-down semakin nampak dalam kaitannya dengan perluasan keanggotaan Uni Eropa. Negara-negara calon anggota Uni Eropa dari Eropa Timur harus melakukan serangkaian penyesuaian dalam kebijakan nasionalnya sesuai dengan permintaan Uni Eropa yang tercantum dalam Copenhagen Criteria. Keinginan negara-negara tersebut untuk bergabung ke dalam Uni Eropa memberikan Uni Eropa posisi yang sangat kuat untuk menuntut perubahan di negara-negara tersebut (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005). Eropanisasi benar-benar telah membentuk lembaga dan kebijakan negara-negara yang akan bergabung dengan Uni Eropa.

Eropanisasi sebagai proses yang timbal balik

Eropanisasi sebagai proses top-down secara jelas menggambarkan pengaruh Uni Eropa terhadap negara-negara anggotanya. Sekalipun terlihat sangat kuat, Eropanisasi sebenarnya bukan hanya melibatkan proses top-down atau proses downloading melainkan juga proses yang sebaliknya, yakni bottom-up ataupun uploading (Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini, opcit,  406). Eropanisasi tidak terjadi sebagai refleksi dari hubungan kekuasaan yang asimetris atau yang menggambarkan tekanan sepihak dari Uni Eropa kepada negara-negara anggotanya, melainkan sebagai produk dari hubungan timbal balik. Eropanisasi melibatkan proses internal di tingkat nasional disamping proses eksternal yang berupa tekanan dari Uni Eropa. Dengan kata lain, Eropanisasi adalah sebuah proses timbal balik.

Studi yang dilakukan oleh Schimmelfennig dan Sedelmeier terkait dengan keinginan negara-negara di Eropa Tengah dan Timur untuk menjadi anggota Uni Eropa sebenarnya secara jelas menggambarkan proses dua arah ini (Schimmelfennig and Sedelmeier 2005, 1). Kemampuan Uni Eropa untuk memaksakan perubahan di negara-negara tersebut untuk memenuhi Copenhagen Criteria bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara ini. Kemampuan Uni Eropa menjadi tidak bermakna jika negara-negara tersebut tidak berkeinginan untuk menjadi anggota negara-negara Uni Eropa. Dalam artian ini, pertimbangan-petimbangan nasional di negara-negara tersebut yang berupa peluang ekonomi yang dijanjikan oleh Uni Eropa maupun meningkatnya leverage negara-negara tersebut di dunia internasional sebagai bagian dari Uni Eropa menjadi faktor penting bagi negara-negara tersebut untuk menerima tuntutan Uni Eropa akan transformasi sistemik di negara-negara tersebut (Wallace 2000, 1).

Eropanisasi sebagai sebuah proses dua arah jelas menggambarkan eksistensi kedaulatan negara-negara anggotanya. Dalam konteks ini, Eropanisasi bukan hanya sejalan dengan kepentingan negara-negara anggotanya tetapi tidak jarang juga berlangsung sebagai bagian dari strategi negara untuk meraih keuntungan dari keberadaan Uni Eropa. Kesediaan negara-negara eks Eropa Tengah dan Timor untuk melakukan transformasi sistem sebagai strategi untuk memperoleh keuntungan dari keberadaan Uni Eropa bukan kasus yang eksklusif. Negara-negara yang lebih besar seperti Jerman, Perancis dan Inggris juga memanfaatkan keberadaan Uni Eropa dan keanggotaannya di dalam Uni Eropa untuk mencapai atau setidaknya mendukung pencapaian tujuan nasionalnya.

Keanggotaan Jerman di Uni Eropa, misalnya, bukan hanya menguntungkan Jerman secara ekonomi, tetapi juga secara politik terkait dengan tujuan kebijakan luar negerinya ke arah negara-negara Eropa Timur (Anderson and Goodman 1997, 51). Kepentingan nasional juga tercermin dalam kesediaan Perancis untuk melakukan reformasi terhadap Bank Sentralnya yang cenderung digambarkan sebagai produk dari tekanan Uni Eropa sebagai syarat bagi Perancis untuk bergabung ke dalam EMU. Seperti yang ditunjukkan oleh Anderson and Goodman, Perancis sangat berkepentingan untuk mendorong terbentuknya EMU sebagai strategi untuk mengurangi dominasi Jerman dalam kebijakan ekonomi Uni Eropa, terutama karena besarnya pengaruh Bundesbank dalam Sistem Moneter Eropa (Anderson and Goodman 1997, 52).

Daftar kasus yang menggambarkan Eropanisasi bukan semata-mata mencerminkan kekuasaan Uni Eropa atas negara-negara anggotanya, melainkan juga produk dari strategi negara-negara anggotanya untuk menggunakan Uni Eropa untuk mencapai kepentingan mereka bisa sangat panjang. Tetapi, kasus-kasus tersebut secara jelas memperkuat argumen bahwa Eropanisasi berlangsung sebagai proses dua arah. Negara-negara anggota mengunggah (proses uploading) kebijakan dan tujuan kebijakan nasionalnya ke tingkat regional dan menjadikan sistem governance di tingkat regional tersebut sebagai sarana untuk mendukung tujuan nasional mereka tersebut. Disamping itu, pembuat kebijakan juga menjadikan Eropanisasi sebagai sarana untuk mencapai kepentingan-kepentingan domestik mereka (Börzel 2002, 194).

Eropanisasi sebagai proses horizontal

Di luar proses yang berlangsung secara top-down dan bottom-up ataupun sebagai proses downloading ataupun uploading, Eropanisasi juga berlangsung secara horizontal (Radaelli 2006, 62). Proses ini menggambarkan bagaimana negara-negara anggota menggunakan Uni Eropa sebagai platform kebijakan untuk memperkuat pengaruhnya ke negara-negara anggota yang lain. Menurut Börzel, Schimmelfennig dan Sedelmeier, Eropanisasi sebagai proses horizontal ini biasanya dimulai oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih mapan untuk mempengaruhi negara-negara anggota yang lain yang lebih lemah (Börzel 2002; Schimmelfennig and Sedelmeier 2005).

Contoh yang seringkali ditunjukkan untuk menggambarkan proses Eropanisasi horizontal adalah kebijakan lingkungan. Meningkatnya kesadaran akan lingkungan di negara-negara anggota Uni Eropa yang mapan seperti Jerman, telah mendorong negara-negara tersebut untuk mempengaruhi kebijakan tentang lingkungan di Uni Eropa. Dorongan untuk mengunggah kebijakan nasional negara-negara tersebut ke tingkat regional adalah untuk menghindarkan dampak ekonomi dari kebijakan lingkungan di negara tersebut. Karena kebijakan yang berorientasi pada lingkungan akan cenderung menjadikan produk-produk dari negara-negara tersebut tidak cukup bersaing dengan negara-negara lain, maka memaksa negara-negara lain untuk juga meningkatkan kepedulian mereka terhadap lingkungannya menjadi satu pilihan yang menarik. Untuk tujuan tersebut, Uni Eropa menjadi platform yang sangat strategis. Eropanisasi dalam proses ini, oleh-karenanya berlangsung dalam dua proses, yakni bottom-up (uploading) dari negara-negara anggota ke Uni Eropa, kemudian top-down (downloading) dari Uni Eropa ke negara-negara yang lain.

Eropanisasi horizontal ini tidak dapat diabaikan pengaruhnya dalam politik di Eropa. Munculnya Uni Eropa sejak awal merupakan produk dari kepentingan nasional yang diproyeksikan ke sistem Eropa dan kemudian mempengaruhi sistem nasional negara-negara lain. Proses ini terlihat misalnya dalam kebijakan kerjasama pembangunan Uni Eropa. Pengaruh negara-negara eks kolonial terhadap kebijakan Uni Eropa dalam kerjasama pembangunan sangat besar dan menjadi bagian dari kebijakan yang diikuti oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang lain. Contoh lain yang sangat mencerminkan Eropanisasi horizontal adalah kecenderungan ke arah standarisasi di Uni Eropa. Munculnya kecenderungan ini antara lain disebabkan oleh proses Eropanisasi horizontal ini. Bahkan, upaya standarisasi yang dilakukan melalui Uni Eropa tidak hanya berpengaruh terhadap negara-negara anggota ataupun calon anggota Uni Eropa, tetapi juga terhadap negara-negara lain di luar Uni Eropa. Pengaruh Uni Eropa di luar sistem Eropa berlangsung melalui hubungan bilateral maupun multilateral. Penandatanganan Persetujuan Kemitraan Sukarela terhadap Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT VPA), sebuah inisiatif dari Uni Eropa untuk mengurangi pemnebangan liar dengan memperkuat keberlanjutan dan legalitas pengelolaan hutan, memperbaiki pengelolaan hutan serta mendorong perdagangan kayu yang diproduksi secara legal, oleh lebih dari 16 negara di dunia, misalnya, menggambarkan Eropanisasi melampaui batas-batas sistem governance Uni Eropa (European Commission 2019).

Penutup

Eropanisasi merupakan konsep yang berkembang dan sangat populer dalam kajian Eropa pada tahun 1990-an. Popularitas konsep ini menjadikan banyak orang meragukan kegunaan konsep ini sebagai kerangka analisis. Memang, adanya penafsiran yang beragam terhadap konsep ini menjadikannya sulit untuk membantu memfokuskan diri pada aspek tertentu dalam kajian Eropa. Tetapi, bab ini cenderung melihat konsep Eropanisasi merupakan konsep yang sangat bermanfaat untuk menjelaskan bagaimana bekerjanya Uni eropa sebagai sebuah entitas sui generis, yang terbentuk dari dua realitas kekuasaan yang berbeda. Sekalipun tidak ada perbedaan signifikan terkait dengan karakter sui generis Uni Eropa, menjelaskan bagaimana entitas dengan karakter ini bekerja cenderung diabaikan. Adalah dalam kerangka ini, Eropanisasi menjadi sebuah konsep yang sangat membantu.

Eropanisasi dalam tulisn ini dipahami secara khusus dalam kaitannya dengan integrasi Eropa. Dalam artian ini, Eropanisasi menggambarkan perubahan politik di Eropa dengan munculnya Uni Eropa sebagai sebuah sistem governance.  Sebagai sistem governance, keberadaan Uni Eropa sangat mempengaruhi proses nasional di negara anggotanya. Tetapi, pengaruh Uni Eropa terhadap sistem di negara-negara anggotanya bukan sebuah proses unilinear (top-down), melainkan sebuah proses dua arah (top-down dan bottom up). Disamping itu, Eropanisasi juga berlangsung sebagai sebuah proses horizontal.

Referensi

Anderson, J.J. and Goodman, J.B. (1997). Mars or Minerva?  A United Germany, dalam Keohane, R.O., Nye, J.S. and Hoffman, S. eds. After the Cold War: International Institutions and State Strategies in Europe, 1989-1991. Harvard University Press, 23-62.

Börzel, T.A. (2002). Pace-Setting, Foot-Dragging, and Fence-Sitting: Member State Responses to Europeanization. Journal of Common Market Studies, 40 (2), 193-214.

Börzel, T.A. and Risse, T. (2000). When Europe Hits Home: Europeanization and Domestic Change. European Integration Online Papers, 4(15), 29 November.  Tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/texte/2000-015a.htm

Bulmer, S. and Burch, M. (1998). Organizing for Europe: Whitehall, the British State and European Union. Public Administration 76 (4), 601-628

Caporaso, J. (2008). The Three Worlds of Regional Integration Theory, dalam Graziano, P.R. and Vink, M.P. (eds) Europeanization: New Research Agenda. Palgrave Macmillan, 23-34.

Cowles, M.G., Caporaso, J.  and Risse, T. eds. (2001). Transforming Europe : Europeanization and Domestic Change. Cornell Studies in Political Economy. Cornell University Press

Diez, T. and Wiener, A. (2009). Introducing the Mosaic of Integration Theory, dalam Anja Wiener dan Thomas Diez, eds.  European integration theory (2nd ed.). Oxford University Press, 1-24.

European Commission (2019) FLEGT Regulation — FLEGT Voluntary Partnership Agreements (VPAs), tersedia online https://ec.europa.eu/environment/forests/flegt.htm.

Goetz, K.H. and Hix, S. eds. (2000). Europeanised Politics? : European Integration and National Political Systems. Ser. West european politics, 23 (4).

Graziano, P.R. and Vink, M.P. (2012). Europeanization: Concept, Theory, and Methods, dalam Bulmer, S. & Lesquene, C. (eds), The Member States of the European Union. Oxford University Press, 32-54.

Hix, S. and Goetz, K.H. (2000).  Introduction: European Integration and National Political Systems. West European Politics 23 (4), 1-26.

Hix, S. and Høyland, B.K. (2011). The political system of the European Union. Palgrave Macmillan.

Ledrech, R. (1994). Europeanization of Domestic Politics and Institutions: The Case of France. JCMS: Journal of Common Market Studies 32 (1), 69-88.

Olsen, J. P. (2002). The Many Faces of Europeanization. JCMS: Journal of Common Market Studies 40 (5), 921-952.

Quaglia, L., Neuvonen, M., Miyakoshi, M. and Cini, M. (2007). Europeanization, dalam Cini, M. ed. European Union Politics, 2nd edn. Oxford University Press, 405-420.

Radaelli, C.M.  (2000). Whither Europeanization: Concept Stretching and Substantif Change. European Integration Online Paper 4 (8), tersedia online di http://eiop.or.at/eiop/pdf/2000-008.pdf

Radaelli, C.M. (2006). Europeanization: Solution or Problem?, dalam Michelle Cini and Angela K Bourne. Palgrave Advances in European Union Studies. Palgrave Advances. Palgrave Macmillan, 56-76.

Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U. (2005). Introduction: Conceptualizing the Europeanization of Central and Eastern Europe, dalam Schimmelfennig, F.  and Sedelmeier, U., eds. The Europeanization of Central and Eastern Europe. Cornell University Press, 1-28.

Wallace, H. (2000). Europeanisation and Globalisation: Complementary or Contradictory Trends?. New Political Economy 5 (3), 369–382.

 

Versi akhir artikel ini terbit dalam volume EU: Institution, Politik dan Kebijakan, yang disunting oleh Muhadi Sugiono, Graha Ilmu, 2019.

 

[1] Reorientasi fokus kajian Eropa terlihat misalnya melalui karya-karya Ledrech (1994), Bulmer and Burch (1998), Goetz and Hix (2000).

[2] Tentang tiga tahap perkembangan teoretis untuk menjelaskan integrasi Eropa, lihat juga Diez and Wiener (2009).

[3] Eropanisasi sebagai proses yang top-down juga seringkali dikenal sebagai proses downloading karena menggambarkan dua hubungan kausal dari dua tingkatan yang berbeda, yakni regional ke nasional. Lihat Quaglia, Neuvonen, Miyakoshi and Cini (2007, 406).

Diskusi dan Bedah Buku Virtual ‘Uni Eropa: Institusi, Politik dan Kebijakan’

Uni Eropa adalah sebuah entitas sui generis. Paduan dua karakter yang bertolak belakang, yakni supranasionalisme, di satu sisi, dan intergevernmentalisme, di sisi lain, menjadikan Uni Eropa sulit untuk dipahami dengan menggunakan parameter-parameter entitas politik modern yang kita kenal. Sekalipun memiliki institusi-institusi supranasional, Uni Eropa bukanlah sebuah ‘super state’ atau sebuah pemerintah federal. Tetapi, pada saat yang sama kita juga tidak bisa memahami Uni Eropa semata-mata sebagai sebuah organisasi internasional. Kedua aspek tersebut, supranasionalisme dan intergovernmentalisme, berinteraksi dan menghasilkan institusi, politik maupun kebijakan dengan karakter yang unik dan sangat khas Uni Eropa, yang tidak dapat ditemukan padanannya pada enititas politik lain. Disamping itu, dinamika hubungan antara supernasionalisme dan intergovern mentalisme menjadikan Uni Eropa selalu berubah dari waktu ke waktu. Dan, tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang, integrasi tidak berlangsung secara linier dan progresif menuju satu tujuan akhir tertentu yang didisain sejak awal melainkan secara gradual seiring dengan kebutuhan. Realitas ini juga secara jelas tercermin dalam institusi, politik dan kebijakan Uni Eropa.

Pembahasan terkait Institusi, Politik dan Kebijakan di Uni Eropa akan didiskusikan dalam acara Bedah Buku Virtual yang merupakan kerjasama Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE) bersama Perpustakaan FISIPOL UGM.

Acara ini juga sekaligus sebagai Launching Aplikasi terbaru dari Perpustakaan FISIPOL UGM loh, Penasaran kan apa Aplikasinya ? Yuk, untuk rekan-rekan yang tertarik dapat melakukan registrasi melalui link yang tertera pada Link ugm.id/RegistrasiBedahBukuEU.
Jangan sampai ketinggalan yah, akan ada hadiah menarik bagi yang beruntung selama sesi acara. Kami tunggu kehadiran rekan-rekan semua di hari Selasa, 26 Januari 2021 pukul 10:00 WIB yah…..

Konflik Pilpres Belarusia: Kompetisi Kepentingan Global

Penulis : Yohanes Ivan Adi Kristianto (Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur)

Ketika publik membicarakan Eropa, Belarusia merupakan salah satu negara yang jarangkali disinggung. Negara yang terletak di bagian timur pada benua Eropa ini relatif tertutup, dibandingkan dengan negara lain di Benua Biru. Melihat rekam jejak negara ini, eksklusifnya Belarusia bisa dipahami. Sebelum berdaulat pada 1991, Belarusia pernah bergabung dengan rezim komunis Uni Soviet. Meskipun telah lepas dari pemimpin Blok Timur, Belarusia masih menerapkan sebagian besar aturan yang dipakai saat bergabung dengan Soviet, diantaranya menutup diri dari dunia luar sebisa mungkin.

Dari 1994 hingga detik ini, Belarusia hanya pernah dipimpin oleh Aleksandr Lukashenko. Melalui pemilihan presiden (pilpres) pertama kali yang demokratis, Lukashenko berhasil mengalahkan Shushkevich dan Kebich dalam dua putaran. Setelah Shushkevich tersingkir, pada putaran kedua Lukashenko tak terbendung dengan memperoleh suara tak kurang dari 80%. (Reuters, 1994)

Memang, selama sekian tahun, Lukashenko berulangkali terpilih menjadi presiden Belarusia melalui pemilihan umum. Namun, pihak oposisi menduga kuat bahwa Lukashenko memang sengaja berusaha melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak demokratis, seperti menangkap pengkritiknya yang vokal. Konflik pilpres Belarusia sendiri dimulai dari perlawanan seorang blogger,  Sergei Tikhanovsky, pada Mei 2020 yang menyebut Lukashenko sebagai “kecoa” karena dianggap sebagai antek asing. Akhirnya, dia pun ditahan oleh aparat. Kemudian, kandidat lawan petahana yakni Mikola Statkevich, Viktor Babaryko, dan Svetlana Tikhanovskaya. Nama terakhir yang disebut dianggap sebagai lawan paling potensial bagi Lukashenko.

Jika analisis isu ini ditarik ke level internasional, peta politik semakin beragam. Pertanyaan selanjutnya, siapa saja yang terlibat dalam isu pilpres Belarusia dan apa saja kepentingan mereka?

Uni Eropa

Uni Eropa (UE) dalam konflik di Belarusia setidaknya mempunyai dua kepentingan. Pertama, UE berkepentingan menyatukan negara anggotanya kembali setelah permasalahan Covid-19 di Eropa sempat mengancam keutuhan organisasi ini. Dalam isu pilpres tersebut, baik UE maupun anggotanya sepakat mengecam tindakan represif Lukashenko terhadap lawan politiknya. Presiden Komisi Eropa, Ursula von Der Leyen, pada pertengahan Agustus 2020 menyatakan bahwa UE menyiapkan skema sanksi ekonomi atas pencederaan terhadap kebebasan berekspresi di Belarusia. (Euractiv, 2020)

Tak seperti isu bantuan Covid-19 di UE, pernyatan Leyen sebagai representasi UE disepakati negara anggota UE, bahkan oleh negara-negara yang selama ini menentang kebijakan UE. Belanda, misal, Perdana Menteri Mark Rutte mengatakan bahwa Belanda tidak menerima hasil dari pilpres Belarusia 2020 yang memenangkan Lukashenko. Rutte yang membuat pernyataan lewat akun Twitternya menambahkan pula bahwa Belanda siap bergabung dengan UE untuk mengeluarkan resolusi terkait masalah itu.

Sepakat dengan Belanda, Perdana Menteri Polandia, Mateusz Morawiecki juga mengecam tindak kekerasan yang diterapkan aparat pada demonstrasi di Minsk, ibukota Belarusia. Morawiecki menegaskan pentingnya kebebasan berpendapat bagi masyarakat Belarusia. (Euractiv, 2020) Bahkan, Polandia bersedia jika Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) berjaga di perbatasan Polandia-Belarusia untuk menekan Lukashenko. Padahal, sebelumnya, Belanda bersama Polandia dan beberapa negara Skandinavia memprotes rencana UE menggelontorkan anggaran organisasi untuk dialokasikan sebagai hibah.

Bagi UE, permasalahan ini justru sebagai momentum untuk memperkuat kohesi regional (regional cohesiveness) yang berimplikasi pada meningkatnya kekompakan diantara mereka. Menurut Ghica (2013), kohesi regional dapat diartikan sebagai kesamaan tindakan aktor-aktor yang mendiami suatu wilayah dan secara bersamaan tindakan mereka mewakili suatu kelompok. UE, Polandia, Belanda, dan negara anggota UE lainnya dalam isu Belarusia memiliki kesamaan cara pandang sebagai bangsa Eropa Barat, sehingga menciptakan kohesi regional.

Dilihat dari letak geografis, posisi Belarusia sangatlah strategis di daratan Eropa. Belarusia bisa dikatakan sebagai penghubung antara wilayah UE dan Rusia. Hubungan antara UE dan Rusia sendiri tidak terlalu baik. Keduanya sering berseteru, walau dalam hal perdagangan, mereka cenderung saling membutuhkan. UE adalah pasar potensial bagi Rusia, sedangkan UE membutuhkan pasokan gas dari Rusia. Jika bisa mengubah Belarusia menjadi negara demokratis, Belarusia kemungkinan besar akan bergabung dengan UE. Bergabungnya Belarusia dengan UE berpotensi menjadikan daya tawar UE lebih besar terhadap Rusia sebab jalur gas Rusia bergantung pada Belarusia. (Reilly, 2020)

NATO

Selain UE, pihak lain yang berkepentingan ialah NATO, aliansi pertahanan yang dimotori oleh Amerika Serikat (AS). Apa kepentingan NATO? Sebelum menjawab, perlu dipahami bahwa Belarusia sangat dekat dengan Rusia, meskipun Lukashenko sendiri berusaha memposisikan sebagai negara netral. Lukashenko akhir-akhir ini merasa dirugikan oleh Rusia yang mengurangi subsidi minyak mentah kepada Belarusia. Padahal, Lukashenko telah mengijinkan Putin, Presiden Rusia, untuk memasang pipa gas di teritori Belarusia. Presiden Belarusia ini juga memiliki kekhawatiran Belarusia bakal senasib dengan Ukraina yang dianeksasi Rusia.

Jadi, dengan keterlibatannya, NATO berusaha menekan Rusia supaya setidaknya menghambat Negeri Beruang Merah untuk menjauh dari Belarusia. NATO pun sebenarnya tidak ada intensi untuk melancarkan perang terbuka di negara tetangga Polandia tersebut. Jika Rusia bisa secara total “menguasai” Belarusia, ekonomi Rusia diprediksi bakal semakin mapan karena jalur gas dan perdagangan semakin aman. Tentu, menguatnya Rusia dalam bidang ekonomi kurang disukai oleh AS. (Kagan, 2020)

Prediksi

Setidaknya, ada tiga poin yang dapat diperkirakan terkait konflik pilpres tersebut. Pertama, konfrontasi langsung antara pihak-pihak terkait seperti Belarusia, Rusia, UE, NATO, dan AS tidak terjadi. UE dan AS cenderung memilih jalan sanksi ekonomi. Perang terbuka justru akan merugikan semua pihak karena ekonomi mereka semakin terguncang setelah menurun akibat Covid-19. Kedua, tingkat agresivitas NATO sangat bergantung pada Presiden AS, Donald Trump. Sejauh ini, Trump relatif lebih disibukkan dengan pilpres AS. Kalau dianggap menguntungkan, bukan tak mungkin Trump menggunakan NATO untuk memprovokasi keadaan. Terakhir, bila UE sukses dalam mendorong demokratisasi di Belarusia, negara anggota UE diprediksi akan bertambah satu.

Kesimpulannya, pilpres Belarusia tidak hanya melibatkan negara itu sendiri, melainkan juga aktor politik lainnya. Keterlibatan mereka disebabkan oleh posisi geografis yang menguntungkan. Khusus UE, keikutsertaan organisasi juga demi menguatkan rezim UE.

Tulisan ini pertama kali terbit di Qureta pada 10 September 2020.

WEBINAR PEMBUKA EU27: UNI EROPA PASCA BREXIT OLEH KIKE DAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

18 November 2020 – KIKE (Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa) bersama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya menyelenggarakan kegiatan Webinar Nasional yang “ke-2” pada tahun ini akan diselenggarakan selama 2 hari dengan berisikan 1 Webinar Pembuka dan 6 Panel. Webinar yang dihadiri hampir 800 peserta ini dapat terselenggara dengan sukses salah satunya atas dukungan partnership seperti UBL TV, yang membantu dalam proses publikasi.

Webinar ini dihadiri oleh Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Ketua Umum KIKE, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Ketua Prodi Hubungan Internasional Universitas Brawijaya, dan akademisi lainnya. Webinar dibuka oleh Bapak Muhadi Sugiono selaku Ketua Umum Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa yang kemudian dilanjutkan oleh kata sambutan dan penyampaian materi yang diberikan oleh Mr. Vincent Piket selaku Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam yang sangat mendukung diselenggarakannya kegiatan ini. Materi yang diberikan oleh Duta Besar Mr. Vincent Piket membicarakan banyak sektor mengenai Uni Eropa, sehingga diharapkan mampu memberikan wawasan baru untuk seluruh peserta webinar yang hadir. Selain itu, Bapak Muhadi Sugiono, selaku Ketua Umum KIKE, mendapatkan kesempatan untuk memaparkan materi, yang salah satunya adalah membahas European Integration Theory.

Webinar ini juga menjadi perkenalan awal hasil tulisan yang ditulis oleh akademisi dari gabungan beberapa Universitas di Indonesia yang tergabung dalam KIKE (Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa), yang nantinya akan dibukukan dan akan menjadi sebuah buku yang menarik untuk dibaca dan dipahami bagi setiap akademisi yang berfokus pada Kajian Eropa.

Diharapkan dengan diadakannya webinar ini, akan membuka wawasan kepada seluruh peserta yang telah hadir dalam webinar perihal isu-isu yang berkembang di Kawasan Eropa, baik dalam sektor ekonomi, politik, dan sosial. Sehingga semakin banyak akademisi dan mahasiswa yang tertarik kepada Kajian Eropa.

His Excellency Mr. Vincent Piket menjelaskan secara umum bahwasanya, minggu yang krusial untuk UK setelah brexit, dan menjelaskan secara merinci mengenai kondisi beserta penjelasan dampak kepapda EU pasca brexit yang terjadi, salah satunya bagi seluruh masyarakat  di 27 Negara EU, bagaimana system dari berbagai aspek yang sebelumnya berjalan pada dasar dan prinsipnya mulai dari ekonomi, politik, sosial, lingkungan, budaya, dan aspek lainnya menjadi begitu sangat berubah drastic dan setiap Negara EU diharuskan untuk beradapasi pada perubahan ini. Menurutnya, kejadian ini merupakan sebuah keadian yang mengejutkan banyak pihak dan banyak yang tidak menginginkan hal ini terjadi, tetapi memang harus di terima oleh banyak pihak dengan lapang dada dan terus menatapnya baik dan berorientasi pada solusi positif untuk kondisi yang lebih baik dan kembali stabil. Dan Ia juga memastikan bahwa dengan keadaan yang berubah seperti ini, mereka akan tetap melanjutkan langkah kerja sama, koordinasi, dan menjalin relasi yang baik dalam berbagai bidang, ekonomi, lingkungan, politik, social dan juga salah satunya lebih rinci pada kerja sama lingkugnan dan penanganan permasalahan terorisme, dan lain-lainya.

Bapak Muhadi Sugiono menjelaskan mengenai teori integrasi Eropa dan Brexit, beliau membahas ini dikarenakan banyak sekali pihak  melihat permasalahan ini dari berbagai spekulasi dan berbagai pandangan yang beragam. Beliau juga menjelaskan relevansi brexit sebagai isu atau permasalahan yang ada dengan prinsipal sebuah teori di dalam hubungan internasional yaitu teori integrasi. Dan beliau juga menambahkan bahwa Integrasi Eropa berhasil memimpin pembangunan sebuah teori integrasi. Selain itu, di dalamnya, beliau menjelaskan beberapa komponen pembahasan diantaranyaa; penjelasan umum perihal adanya pernyataan mengenai disentegrasi EU, selanjutnya narasi umum mengenai EU, dan Teori Integrasi Eropa. kontekstualisasi brexit, dan masih banyak lagi penjelasan lainnya. Selain itu, Bapak Aswin memaparkan konteks Uni Eropa dari sudut pandang non-european. Secara khusus beliau membahas bagaimana dinamika dan prospek hubungan EU dan Tiongkok.

Uni Eropa Hentikan Penyelidikan Anti-Subsidi Produk Baja Gulung Panas Asal RI

JAKARTA, KOMPAS.com – Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) atau baja gulung panas stainless steel Indonesia. Maka, produk HRSS RI kini lolos dari ancaman tindakan antisubsidi Uni Eropa. Keputusan itu ditetapkan pada 6 November 2020 dan diumumkan secara resmi dalam situs web Uni Eropa pada 9 November 2020. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, keputusan tersebut dibuat setelah Asosiasi Industri Baja Uni Eropa (EUROFER) mencabut permohonannya pada 18 September 2020 lalu. Baca juga: Uni Eropa Gugat Amazon Terkait Dugaan Monopoli “Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk membatalkan penyelidikan karena dari awal kami meyakini bahwa produk Indonesia selalu bersaing secara adil di pasar Eropa,” ujar dia dalam keterangan resmi, Rabu (18/11/2020). Menurutnya, pembatalan penyelidikan ini membuka peluang untuk terus mendorong ekspor HRSS ke Uni Eropa. Ia memastikan, Kemendag akan terus mendukung industri Indonesia untuk bisa memanfaatkan pembatalan tersebut. “Pemanfaatannya dengan cara meningkatkan kinerja ekspor produk HRSS ke Uni Eropa, serta secara proaktif menjaga akses ekspornya,” kata Agus. HRSS merupakan produk baja yang dihasilkan dari penggilingan baja nirkarat dalam keadaan panas. Ekspor produk HRSS Indonesia ke Uni Eropa dimulai pada 2018 senilai 99,3 juta dollar AS dan meningkat di 2019 menjadi 100,5 juta dollar AS. Baca juga: Ekspor RI Naik Jadi 14,01 Miliar Dollar AS, Terbesar dari Besi dan Baja Namun pada Oktober 2019, Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER. Uni Eropa menuduh pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia. Selain itu, Uni Eropa menduga adanya dukungan pemerintah Indonesia dan pemerintah China terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali, serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-China.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Uni Eropa Hentikan Penyelidikan Antisubsidi Produk Baja Gulung Panas asal RI “, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/11/18/100127526/uni-eropa-hentikan-penyelidikan-antisubsidi-produk-baja-gulung-panas-asal-ri.
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Bambang P. Jatmiko

Uni Eropa Diskriminasi Sawit Indonesia, Menlu Retno: “Treat Us Fairly”

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyoroti persoalan diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Ia memastikan, persoalan ini akan dihadapi secara tegas oleh Indonesia. Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Nilai ekspornya pun mencapai 23 miliar dollar AS pada tahun lalu. “Kita tahu ada diskriminasi terhadap sawit Indonesia, bahkan kampanye negatif, khususnya di Eropa. Kita ingin selalu melawan diskriminasi ini,” ujarnya dalam sambutan pada acara Jakarta Food Security Summit-5 secara virtual, Kamis (19/11/2020). Baca juga: Bicara Soal Green Diesel Pertamina, Jokowi : 1 Juta Ton Sawit Petani Bisa Diserap Menurut Retno, tindakan diskriminatif yang dilakukan Uni Eropa bertentangan dengan prinsip kemitraan dan kolaborasi dalam hubungan antar negara. Ia mengaku, beberapa hari lalu telah melakukan komunikasi dengan High Representative-Vice President Komisi Eropa Josep Borrell untuk membahas pentingnya meningkatkan kemitraan satu sama lain dan menyelesaikan persoalan diskriminasi kelapa sawit Indonesia. “Saya sampaikan mengenai pentingnya kemitraan yang lebih kuat dan menyelesaikan isu diskriminasi terhadap sawit Indonesia. Indonesia selalu melakukan komunikasi secara terbuka, yang kita inginkan adalah satu, treat us fairly (perlakukan kami dengan adil),” ungkap Retno. Dia menegaskan, Indonesia akan selalu melakukan komunikasi dengan Uni Eropa untuk penyelesaian isu kelapa sawit tersebut. Retno bilang, tentunya Indonesia ingin memiliki kemitraan yang lebih kokoh dengan Uni Eropa yang memang sudah lama menjadi natural partner, lantaran kedua pihak memiliki kesamaan pandangan di banyak isu. Selain kelapa sawit, Retno juga memastikan, akan terus mengawal berbagai komoditas unggulan Indonesia yang mengalami ketidakadilan di pasar global. “Tentunya tidak berhenti kelapa sawit saja, kita sepenuhnya mendukung dan terus mengawal berbagai komoditas unggulan di RI seperti kopi, teh, karet. Karena diplomasi Indonesia tidak ingin tinggal diam dan akan terus berdiri untuk tegak membela kepentingan nasional kita,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Uni Eropa Diskriminasi Sawit Indonesia, Menlu Retno: “Treat Us Fairly””, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/11/19/113825026/uni-eropa-diskriminasi-sawit-indonesia-menlu-retno-treat-us-fairly.
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Erlangga Djumena

PURSUING SUSTAINABLE COOPERATION: INDONESIA – EFTA CEPA (IE-CEPA)

 

https://www.gatra.com/

Writer: Hendra Manurung (Hendra Manurung is currently pursuing a doctoral degree in international relations at Padjadjaran University, Bandung)

The European Free Trade Association or EFTA is an inter-governmental organization established to promote free trade and economic integration for the benefit of its member countries (Switzerland, Norway, Liechtenstein, and Iceland) and their partner countries.

Indonesia and the EFTA Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) is a comprehensive trade agreement due to both markets access inclusiveness, trade and investment facilitation, and capacity building cooperation.

IE-CEPA signed on 16 December 2018 in Jakarta. It is expected that through the Comprehensive Economic Partnership Agreement signed by Indonesia and the European Free Trade Association will bring many mutual benefits for both sides in the future.

The IE-CEPA agreement itself suppose will boost market access to EFTA for fishery products, industry such as textiles, furniture, bicycles, electronics, and auto tires, and agriculture including coffee and palm oil.

The Ministry of Trade of Indonesia also held a Roadshow for the Indonesian Trade Agreement with EFTA countries related to the Comprehensive Economic Partnership Agreement that was completed in Makassar, South Sulawesi (http://ditjenppi.kemendag.go.id/, 26/9/2019).

For Indonesia, the European Free Trade Association (EFTA) considered as the 23rd group of non-oil and gas export destination countries and the 25th largest country of origin for non-oil and gas imports.

After going through nine complex stages that took almost 8 years, began in January 2011 to Nov. 23, 2018, finally conclude. The IE-CEPA negotiations were finally declared substantively completed by the negotiators through Joint Announcement at a meeting in Denpasar, Bali from October 29 to November 1, 2018.

Thereafter, with the signing of the IE-CEPA, a new milestone in bilateral relations between Indonesia and the EFTA countries has begun. This is due to a number of benefits that Indonesia and EFTA will get, through the IE-CEPA agreement which was declared in Geneva, Switzerland on 23 November 2018.

The IE-CEPA Agreement benefits for Indonesia are enormous due to Indonesia’s market access expansion to EFTA countries and accelerating the competitiveness quality of Indonesian products.

The cooperation between the five countries, involving Indonesia, Switzerland, Iceland, Norway, and Liechtenstein will not harm each other. In fact, there are many benefits that can be obtained, particularly with the zero-tariff policy which is applied to almost 99 percent of Indonesian products exports to EFTA countries.

The Indonesian Ministry of Foreign Affairs virtually is intensifying discussions on the ratification of the Indonesian Agreement – the European Free Trade Association (EFTA) Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE-CEPA) in the Tourism Services Sector in October 22, 2020 (kemlu.go.id, 27 Oct. 2020).

In the goods sector, Indonesia benefits from almost 99 percent zero tariffs. Even so, this was done in stages with various deadlines.

In detail, there were also tariff eliminations on 6,333 tariff posts or about 90 percent of the total Norwegian tariff posts. This figure covers 99.75 percent of the value of Norwegian imports from Indonesia.

Tariff elimination also occurred at 8,100 tariff posts in Iceland or around 94.28 percent of the total existing tariff posts. This figure covers 99.94 percent of Iceland’s import value from Indonesia.

There is also the elimination of tariffs on 7,042 tariff posts in Switzerland or about 81.74 percent. This figure covers 99.65 percent of the Swiss import value from Indonesia.

Indonesian export products that receive preferential rates include palm oil, fish, gold, footwear, coffee, toys, and textiles. There is also furniture, electrical equipment, machinery, bicycles, and tires.

Profits in the service trade sector also vary. Starting from the cross border where Indonesian citizens will get information and education from a distance. Indonesia can also increase the growth of e-commerce in the country and for the needs of exports abroad by optimally utilizing digital platforms.

On the consumption abroad section, the Indonesian tourism sector benefits from an increase in the number of tourists from EFTA member countries. Not to mention, the increase in capital flows from EFTA member countries to Indonesia will boost the pace of infrastructure development.

For the commercial presence, it will be increasing capacity building for generating Indonesian human resources quality through the presence of EFTA experts. An increase in the number of Indonesian workers also will be sent to EFTA countries.

Indonesian workforce certification will also be recognized by EFTA countries. Open market access for workers openly is accessible in the category of Intra Corporate Trainee, Trainee, Contract Service Supplier, Independent Professional, and Young Professional.

Indonesian product opportunities in the EFTA market are also promising and challenging. The results of the analysis of Indonesia’s potential exports with the EFTA countries (ITC, 2018) highlighted that these products with the greatest export potential from Indonesia to Switzerland are jewelry from precious metals, coffee, and footwear.

Additionally, Indonesia has the highest supply capacity for palm oil. On the other hand, the product with the strongest potential demand in Switzerland is immunology.

Products with the greatest export potential from Indonesia to Norway are nickel matte, sports footwear, and coffee. Indonesia also has the highest supply capacity for seats of cane, osier & similar products, while the product with the strongest potential demand in Norway is nickel matte.

Products with the greatest export potential from Indonesia to Iceland are shrimp, crude coconut oil, and coffee. Indonesia also has the highest supply capacity for palm oil & fractions, while motorized vehicles to transport people are the product with the strongest potential demand in Iceland.

On the investment side, this cooperation is profitable. IE-CEPA is expected to create an open, stable, and predictable business climate for investors. Increased investment will open wider opportunities for the business world, creating jobs that will improve people’s social welfare gradually.

Investments from developed countries will also have a positive impact in terms of technology and knowledge transfer, so as to increase the competitiveness of domestic commodity products and services in the international market.

The investment sectors offered by Indonesia to EFTA through IE-CEPA include fisheries, agriculture, and manufacturing of food products, textiles, chemicals, pharmaceuticals, and domestic renewable energy development.

For consumers, the elimination of these tariffs will certainly make the price of goods cheaper and of higher quality. Product choices are increasingly diverse.

Moreover, domestic business actors will also benefit more from the import duties for imports of capital goods and raw materials.

Trade facilitation commitments are also included in the IE-CEPA agreement, which will make trade regulations and customs procedures simpler and more transparent.

To conclude, with the lower prices of domestic raw materials, production costs can be reduced optimally, thereby increasing the competitiveness of various Indonesian exporting products and services abroad. (Hendra Manurung is currently pursuing a doctoral in international relations at Padjadjaran University, Bandung)