Archives November 23, 2020

Biden dan Eropa, Harapan dalam Kemitraan yang Tak Nyaman

Washington DC – Presiden Prancis Emmanuel Macron telah berusaha keras untuk mempertahankan hubungan baik dengan Donald Trump dalam beberapa tahun terakhir, kemenangan Joe Biden seharusnya bisa membuatnya agak rileks. Namun Macron juga mengakui masih banyak yang harus dilakukan dalam kerja sama kedua negara.

“Banyak yang harus kita lakukan untuk menghadapi tantangan hari ini. Mari bekerja sama,” tulis Macron dalam bahasa Prancis dan Inggris di Twitter tidak lama setelah sejumlah stasiun televisi besar asal Amerika Serikat mengumumkan proyeksi kemenangan Biden-Harris.

Berbeda dari terpilihnya Trump pada empat tahun lalu, para penasihat di Paris dan ibu kota Eropa lainnya tahu bagaimana harus bersikap dengan Joe Biden. Tidak ada Presiden AS lain yang memiliki pengalaman kebijakan luar negeri yang begitu kaya.

Selama menjadi senator, Biden telah banyak berkutat dengan kebijakan luar negeri. Pada awal 1990-an ia menulis studi yang berpandangan jauh ke depan tentang perang Balkan. Sebagai wakil dari Presiden Barack Obama, politisi Partai Demokrat ini juga pernah menjadi tamu di Konferensi Keamanan di Mnchen dan di forum-forum utama diskusi Transatlantik.

Singkat kata, Joseph Robinette Biden, yang masih punya latar belakang Prancis dan Irlandia, mengenal Eropa – dan orang Eropa mengenalnya.

Kebijakan yang diharapkan internasional

Kembalinya multilateralisme yang dijanjikan oleh Biden berarti sepenuhnya mendukung kepentingan Eropa sebagai mitra AS. Bila Biden resmi menjabat, kebijakan yang ia ambil dapat diharapkan sejalan dengan Uni Eropa.

Selain kembali ke Perjanjian Iklim Paris, Biden juga berencana membatalkan kemunduran AS dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mengenai Kesepakatan Nuklir Iran, Biden juga berencana membatalkan kebijakan luar negeri pendahulunya dan memulihkan hubungan dengan Eropa. Politisi berusia 77 tahun itu berniat mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir dengan para mullah.

Tapi satu hal yang jelas, bila resmi menjabat sebagai presiden, pada awal masa jabatannya Biden akan berfokus dalam menangani masalah di dalam negeri. Penanganan pandemi Corona menjadi prioritas dalam agenda Biden – demikian juga dengan kebijakan ekonomi. Dalam pidato kemenangannya pada Sabtu (07/11) malam waktu setempat, isu perlindungan iklim muncul sebagai satu-satunya isu kebijakan luar negeri.

Tidak lagi akan berperan sebagai polisi dunia

Eropa dapat berharap bahwa hubungan dengan AS akan secara signifikan berangsur rileks di bawah kepemimpinan Biden. Namun dalam kebijakan tertentu akan ada juga kesinambungan kebijakan luar negeri dengan yang telah dibuat oleh pendahulunya. Kebijakan militer AS tidak akan berubah di bawah Presiden Biden. Sebaliknya: bahkan saat Obama masih menjabat, dia telah mengajukan penarikan pasukan AS dari Irak.

Sama seperti Trump, bagi Biden, Eropa bukanlah kawasan dunia yang menentukan dalam hal kebijakan luar negeri. Washington lebih melihat ke Asia dan menganggap kebangkitan China sebagai ancaman terbesar bagi keamanan dan kemakmuran. Perkembangan ini juga sudah terlihat di bawah kepresidenan Obama.

NATO dan target anggaran militer dua persen

Pengamat menunjukkan bahwa terkadang Biden juga bisa menjadi mitra yang membuat keadaan jadi lebih tidak nyaman daripada pendahulunya. Selama Donald Trump secara terbuka menunjukkan pengabaiannya terhadap lembaga-lembaga Barat, pemerintah Uni Eropa dapat dengan mudah mengabaikan tuntutan Washington. Namun kemungkinan pengabaian ini akan lebih sulit dilakukan apabila presiden AS di masa depan adalah orang yang mendukung konsep Eropa.

Selain itu, Biden juga diperkirakan akan terus mendorong alokasi anggaran militer yang lebih tinggi oleh Eropa dan mengingatkan mereka tentang komitmen NATO untuk menyisihkan dua persen dari produk domestik bruto untuk belanja militer.

Pengamat politik Franois Heisbourg, mantan direktur Fondation pour la Recherche Strategique di Paris, Prancis, menganalisis betapa sulitnya bagi Eropa untuk mengambil lebih banyak tanggung jawab atas kebijakan keamanan seperti di Mediterania Timur, sebagai contoh.

“AS tidak memainkan peran utama di Mediterania Timur sejak 2013. Turki, Rusia, dan kekuatan lain dapat bertindak tanpa hambatan di sana,” kata Heisbourg.

Menurut Heisbourg, Eropa seharusnya lebih tertarik pada wilayah ini, tetapi saat ini hampir tidak siap untuk itu. “Kami melihat betapa sulitnya mengisi kekosongan strategis yang ditinggalkan AS,” tambahnya.

Pertanyaan soal ekonomi dan perang dagang dengan China

Eropa juga masih akan menunggu sikap Biden dalam perang dagang dengan China. Sampai sekarang Eropa melihat China terutama sebagai pasar penjualan dan mitra dagang.

Secara umum: Dalam kebijakan ekonomi, konflik dengan pemerintahan AS yang baru kemungkinan besar akan muncul dengan cepat. Prancis akan menjadi negara UE pertama yang memberlakukan pajak khusus terhadap perusahaan Internet terbesar asal AS pada Desember mendatang. Ada pula perselisihan tentang subsidi ilegal dari negara untuk Boeing. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah mengizinkan UE untuk mengenakan tarif miliaran Euro terkait masalah ini.

Potensi konflik di wilayah ini sangat besar, utamanya karena Biden sudah tidak ragu lagi ingin menjalankan kebijakan ekonomi proteksionis. Biden berencana mewajibkan otoritas AS untuk menggunakan barang dan jasa dengan label “Made in USA”.

Namun demikian, sebelum Joe Biden mengambil alih komando pemerintahan, Donald Trump masih akan tinggal di Gedung Putih selama dua setengah bulan ke depan. Fase transisi ini menjadi kritis mengingat pandemi Corona yang semakin parah.

Namun setidaknya pemerintah di Eropa bisa sedikit bernapas lega. Karena bila Trump kembali menjabat untuk periode kedua, Franois Heisbourg menganalisis bahwa keluarnya AS atau penarikan ekstensif dari NATO akan menjadi agenda berikutnya.

(ae/pkp)

Artikel ini di ambil seutuhnya dari DetikNews

Uni Eropa Hentikan Penyelidikan Anti-Subsidi Produk Baja Gulung Panas Asal RI

JAKARTA, KOMPAS.com – Uni Eropa resmi menghentikan penyelidikan antisubsidi terhadap hot rolled stainless steel (HRSS) atau baja gulung panas stainless steel Indonesia. Maka, produk HRSS RI kini lolos dari ancaman tindakan antisubsidi Uni Eropa. Keputusan itu ditetapkan pada 6 November 2020 dan diumumkan secara resmi dalam situs web Uni Eropa pada 9 November 2020. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, keputusan tersebut dibuat setelah Asosiasi Industri Baja Uni Eropa (EUROFER) mencabut permohonannya pada 18 September 2020 lalu. Baca juga: Uni Eropa Gugat Amazon Terkait Dugaan Monopoli “Indonesia menyambut baik keputusan Uni Eropa untuk membatalkan penyelidikan karena dari awal kami meyakini bahwa produk Indonesia selalu bersaing secara adil di pasar Eropa,” ujar dia dalam keterangan resmi, Rabu (18/11/2020). Menurutnya, pembatalan penyelidikan ini membuka peluang untuk terus mendorong ekspor HRSS ke Uni Eropa. Ia memastikan, Kemendag akan terus mendukung industri Indonesia untuk bisa memanfaatkan pembatalan tersebut. “Pemanfaatannya dengan cara meningkatkan kinerja ekspor produk HRSS ke Uni Eropa, serta secara proaktif menjaga akses ekspornya,” kata Agus. HRSS merupakan produk baja yang dihasilkan dari penggilingan baja nirkarat dalam keadaan panas. Ekspor produk HRSS Indonesia ke Uni Eropa dimulai pada 2018 senilai 99,3 juta dollar AS dan meningkat di 2019 menjadi 100,5 juta dollar AS. Baca juga: Ekspor RI Naik Jadi 14,01 Miliar Dollar AS, Terbesar dari Besi dan Baja Namun pada Oktober 2019, Uni Eropa secara resmi memulai penyelidikan antisubsidi terhadap produk HRSS asal Indonesia berdasarkan permohonan EUROFER. Uni Eropa menuduh pemerintah Indonesia memberikan insentif atau bantuan finansial bagi produsen melalui serangkaian kebijakan larangan atau pembatasan ekspor bahan baku mineral, yaitu bijih nikel, batu bara, dan scrap logam, sehingga menekan harga bahan baku tersebut di Indonesia. Selain itu, Uni Eropa menduga adanya dukungan pemerintah Indonesia dan pemerintah China terhadap pembangunan kawasan industri di Morowali, serta industri mineral dan logam di lokasi tersebut melalui kerja sama ekonomi bilateral Indonesia-China.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Uni Eropa Hentikan Penyelidikan Antisubsidi Produk Baja Gulung Panas asal RI “, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/11/18/100127526/uni-eropa-hentikan-penyelidikan-antisubsidi-produk-baja-gulung-panas-asal-ri.
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Bambang P. Jatmiko

Uni Eropa Diskriminasi Sawit Indonesia, Menlu Retno: “Treat Us Fairly”

JAKARTA, KOMPAS.com – Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyoroti persoalan diskriminasi produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa. Ia memastikan, persoalan ini akan dihadapi secara tegas oleh Indonesia. Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Nilai ekspornya pun mencapai 23 miliar dollar AS pada tahun lalu. “Kita tahu ada diskriminasi terhadap sawit Indonesia, bahkan kampanye negatif, khususnya di Eropa. Kita ingin selalu melawan diskriminasi ini,” ujarnya dalam sambutan pada acara Jakarta Food Security Summit-5 secara virtual, Kamis (19/11/2020). Baca juga: Bicara Soal Green Diesel Pertamina, Jokowi : 1 Juta Ton Sawit Petani Bisa Diserap Menurut Retno, tindakan diskriminatif yang dilakukan Uni Eropa bertentangan dengan prinsip kemitraan dan kolaborasi dalam hubungan antar negara. Ia mengaku, beberapa hari lalu telah melakukan komunikasi dengan High Representative-Vice President Komisi Eropa Josep Borrell untuk membahas pentingnya meningkatkan kemitraan satu sama lain dan menyelesaikan persoalan diskriminasi kelapa sawit Indonesia. “Saya sampaikan mengenai pentingnya kemitraan yang lebih kuat dan menyelesaikan isu diskriminasi terhadap sawit Indonesia. Indonesia selalu melakukan komunikasi secara terbuka, yang kita inginkan adalah satu, treat us fairly (perlakukan kami dengan adil),” ungkap Retno. Dia menegaskan, Indonesia akan selalu melakukan komunikasi dengan Uni Eropa untuk penyelesaian isu kelapa sawit tersebut. Retno bilang, tentunya Indonesia ingin memiliki kemitraan yang lebih kokoh dengan Uni Eropa yang memang sudah lama menjadi natural partner, lantaran kedua pihak memiliki kesamaan pandangan di banyak isu. Selain kelapa sawit, Retno juga memastikan, akan terus mengawal berbagai komoditas unggulan Indonesia yang mengalami ketidakadilan di pasar global. “Tentunya tidak berhenti kelapa sawit saja, kita sepenuhnya mendukung dan terus mengawal berbagai komoditas unggulan di RI seperti kopi, teh, karet. Karena diplomasi Indonesia tidak ingin tinggal diam dan akan terus berdiri untuk tegak membela kepentingan nasional kita,” pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Uni Eropa Diskriminasi Sawit Indonesia, Menlu Retno: “Treat Us Fairly””, Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2020/11/19/113825026/uni-eropa-diskriminasi-sawit-indonesia-menlu-retno-treat-us-fairly.
Penulis : Yohana Artha Uly
Editor : Erlangga Djumena

APEC 2020 & INDONESIA IN THE MIDST OF GLOBAL PANDEMIC
https://www.apec.org/

Hendra Manurung, is currently a doctoral candidate of International Relations, Padjadjaran University, Bandung; Teuku Rezasyah is an Associate Professor of International Relations at the same university

Malaysia was assigned to host the APEC meeting in 2020, and hope the commitment of APEC leaders’ countries to the multilateral trading system. This commitment is important in order to maintain global market and financial stability so that global trade and foreign investment guarantees continue to flow in times of crisis and global economic recession.

The APEC 2020 event theme is ‘ Reimagined: Priorities in the Aftermath of COVID-19’. Indonesia, through its ministry of trade, highlights APEC contribution in the midst of a global pandemic outbreak being relevant to overcome global uncertainty in the current economy and trade outlook.

In fact, for two years in 2018 and 2019, the APEC leaders’ forum failed to reach a final agreement at the APEC leader level to overcome various global challenges.

As the host, Malaysia faces considerable challenges, namely the achievement of the Bogor Goals target which is still not as expected, it is not easy to formulate a new post-2020 APEC vision that can accommodate the interests of the entire APEC economy, and high hopes for a joint declaration at the APEC leadership level.

However, apart from the need to ensure the growth of the digital economy, it also needs a sustainable inclusive economy and the optimal use of digital platforms in financial transactions. Furthermore, it is necessary to ensure and simplify cooperation between the government and the private sector in the Asia Pacific countries region.

Indonesia, China, together with a number of leaders of APEC member countries in the APEC annual meeting in Kuala Lumpur, Malaysia were held virtually to encourage a more open, transparent trade, and strengthen multilateral cooperation. It is hoped that these norms, principles, and steps will greatly support the performance of the global economy which is being severely affected by the COVID-19 pandemic.

President Joko Widodo has prioritized the importance of developing a favorable climate for foreign investment in Indonesia and the Asia Pacific region. It is possible that the Omnibus Law will improve the business climate and support national economic growth, along with regulatory and bureaucratic reforms. This is important considering the flexibility of regulations and the dexterity of the Indonesian bureaucracy in dealing with the current difficult times so that it is ready to open the widest possible door for businessmen and investors through the application of new methods.

The Omnibus Law which massively simplifies various regulations is said to aim to create a quality business and investment climate for business actors, including micro, small and medium enterprises. Although, this decision has sparked resistance, protests, and controversy in the country, however, it is expected that this regulation will be able to reduce overlapping regulations and complicated and complex procedures. The cumbersome licensing bureaucracy was also reduced. Illegal fees that have hindered business and investment entry are eradicated.

This rule also makes it easier for MSME business actors, where they do not need to apply for a permit but simply register the type of business. The entire licensing process is integrated into an electronic system through an online single submission.

Business activities and investing are made easier and less difficult. The formation of a limited liability company is made simpler and there is no longer a minimum capital limitation. Patents and brands are also being processed accelerated. Land acquisition and optimization of land utilization for public interest and investment will be much easier.

The APEC economy is expected to become a pillar of world economic stability by focusing on equitable economic cooperation so that all levels of society can participate and enjoy economic prosperity equally. APEC’s contribution can be achieved by boosting human resources potentials. It is very important to support sustainable economic growth in member countries including Indonesia which is also in line with the vision of the central government.

Suppose Indonesia will play a proactive role as Southeast Asia leading economy in supporting the implementation of the APEC blueprint related to strengthening the global value chain for the 2020 to 2025 periods.

Indonesia’s active role is in accordance with President Joko Widodo’s direction in RPJMN 2020 to 2024 in supporting Indonesia’s economic transformation, from dependence on natural resources shifting to an economy based on manufacturing competitiveness and the provision of high-value-added modern services.

It is certain that Indonesia will cooperate closer with other pioneer countries in the world economy, such as China and the US, in designing a capacity-building program for the APEC economy to gain more benefits from the global supply chain.

It is most likely that Donald Trump will represent the US at APEC 2020 Summit. Trump’s presence will be his second participation after 2017. Trump has been criticized for being less involved in the East Asia Summit in early November as part of the 2020 ASEAN Summit activities held virtually in Hanoi, Vietnam.

Chinese President Xi Jinping promised to open up his domestic market more widely, actively cooperating with all countries, regions, and companies.

Xi Jinping stressed that China’s gross domestic product has reached 10,000 US dollars per year. The number of Chinese middle-class citizens currently reaches more than 400 million people. Various international agencies are projecting that the Chinese retail market in 2020 will penetrate the US $ 6 trillion.

Thus, it is certain that there will be greater demand for quality products, the use of information technology, and the standardization of service quality from around the world.

It is expected that through the signing of a regional economic comprehensive partnership (RCEP) will have an important meaning in global trade and sustainable multilateral cooperation for economic integration in the Asia and Pacific region.

Moreover, with the election of Joe Biden as the 46th US president in early November 2020, it is hoped that the US government will be more constructive and emphasize goodwill in dealing with other countries in the region without conflicting with other economic powers.

RCEP for developing countries can reduce trade barriers to agricultural products, manufactured goods, and components that make up the majority of their exported commodities.

However, the RCEP partnership is considered to have little to do with trade in services and the availability of access for various companies to operate in their respective economies, something the US and other developed countries want.

Also, it is necessary to gradually reduce tariffs and institutional costs, develop a number of import trade promotion innovation demonstration zones, and expand product imports and strengthen high-quality services in all member countries.

Most APEC countries face unprecedented times, demanding bold responses along with the world’s greatest health and economic crisis of a hundred years. For sure, these challenges demand sustaining cooperation, coordination, and collaboration actively without any left behind through market integration, creative innovation, and regional inclusion.

The crisis response remains a pressing concern in many economies, and requires an ongoing focus on ensuring access to essential medical supplies and services, including vaccine availability; keeping supply chains functioning, and avoiding fragmented policy approaches, including in the digital economy and the safe resumption of travel. These would serve to revive all business activities and market demand that would accelerate global economic recovery.

Free and open trade and investment have indeed resulted in greater prosperity within the Asia Pacific along with underscoring the fact that benefits accruing from trade and investment have not permeated across all segments of all society.

Even today, there is much room for us to improve the narrative of trade and investment with a view to bring tangible benefits to all people fairly.

To conclude, APEC’s success key is openness, cooperation, and transparency amongst member-countries to look for Asia Pacific economic recovery sooner or later.